PERKEMBANGAN
AGAMA HINDU DAN BUDHA DI INDONESIA
Agama
Hindu berkembang di India pada ± tahun 1500 SM. Sumber ajaran Hindu terdapat
dalam kitab sucinya yaitu Weda. Kitab Weda terdiri atas 4 Samhita atau
“himpunan” yaitu:
- Reg Weda, berisi syair puji-pujian kepada para dewa.
- Sama Weda, berisi nyanyian-nyanyian suci.
- Yajur Weda, berisi mantera-mantera untuk upacara keselamatan.
- Atharwa Weda, berisi doa-doa untuk penyembuhan penyakit.
Di samping kitab Weda, umat Hindu
juga memiliki kitab suci lainnya yaitu:
- Kitab Brahmana, berisi ajaran tentang hal-hal sesaji.
- Kitab Upanishad, berisi ajaran ketuhanan dan makna hidup.
Agama
Hindu menganut polytheisme (menyembah banyak dewa), diantaranya Trimurti atau
“Kesatuan Tiga Dewa Tertinggi” yaitu:
- Dewa Brahmana, sebagai dewa pencipta.
- Dewa Wisnu, sebagai dewa pemelihara dan pelindung.
- Dewa Siwa, sebagai dewa perusak.
Selain
Dewa Trimurti, ada pula dewa yang banyak dipuja yaitu Dewa Indra pembawa hujan
yang sangat penting untuk pertanian, serta Dewa Agni (api) yang berguna untuk
memasak dan upacara-upacara keagamaan. Menurut agama Hindu masyarakat dibedakan
menjadi 4 tingkatan atau kasta yang disebut Caturwarna yaitu:
- Kasta Brahmana, terdiri dari para pendeta.
- Kasta Ksatria, terdiri dari raja, keluarga raja, dan bangsawan.
- Kasta Waisya, terdiri dari para pedagang, dan buruh menengah.
- Kasta Sudra, terdiri dari para petani, buruh kecil, dan budak.
Selain
4 kasta tersebut terdapat pula golongan pharia atau candala, yaitu orang di
luar kasta yang telah melanggar aturan-aturan kasta.Orang-orang Hindu memilih
tempat yang dianggap suci misalnya, Benares sebagai tempat bersemayamnya Dewa
Siwa serta Sungai Gangga yang airnya dapat mensucikan dosa umat Hindu, sehingga
bisa mencapai puncak nirwana.
Agama Buddha
Agama
Buddha diajarkan oleh Sidharta Gautama di India pada tahun ± 531 SM. Ayahnya
seorang raja bernama Sudhodana dan ibunya Dewi Maya. Buddha artinya orang yang
telah sadar dan ingin melepaskan diri dari samsara.Kitab suci agama Buddha
yaitu Tripittaka artinya “Tiga Keranjang” yang ditulis dengan bahasa Poli.
Adapun yang dimaksud dengan Tiga Keranjang adalah:
- Winayapittaka : Berisi peraturan-peraturan dan hukum yang harus dijalankan oleh umat Buddha.
- Sutrantapittaka : Berisi wejangan-wejangan atau ajaran dari sang Buddha.
- Abhidarmapittaka : Berisi penjelasan tentang soal-soal keagamaan.
Pemeluk Buddha wajib melaksanakan
Tri Dharma atau “Tiga Kebaktian” yaitu:
- Buddha yaitu berbakti kepada Buddha.
- Dharma yaitu berbakti kepada ajaran-ajaran Buddha.
- Sangga yaitu berbakti kepada pemeluk-pemeluk Buddha.
Disamping
itu agar orang dapat mencapai nirwana harus mengikuti 8 (delapan) jalan
kebenaran atau Astavidha yaitu:
- Pandangan yang benar.
- Niat yang benar.
- Perkataan yang benar.
- Perbuatan yang benar.
- Penghidupan yang benar.
- Usaha yang benar.
- Perhatian yang benar.
- Bersemedi yang benar.
Karena
munculnya berbagai penafsiran dari ajaran Buddha, akhirnya menumbuhkan dua
aliran dalam agama Buddha yaitu:
- Buddha Hinayana, yaitu setiap orang dapat mencapai nirwana atas usahanya sendiri.
- Buddha Mahayana, yaitu orang dapat mencapai nirwana dengan usaha bersama dan saling membantu.
Pemeluk Buddha juga memiliki
tempat-tempat yang dianggap suci dan keramat yaitu:
- Kapilawastu, yaitu tempat lahirnya Sang Buddha.
- Bodh Gaya, yaitu tempat Sang Buddha bersemedi dan memperoleh Bodhi.
- Sarnath/ Benares, yaitu tempat Sang Buddha mengajarkan ajarannya pertama kali.
- Kusinagara, yaitu tempat wafatnya Sang Buddha.
eori Masuknya Agama dan Kebudayaan
Hindu Buddha di Indonesia -
Memasuki abad Masehi, antara Indonesia dengan India sudah terjalin hubungan
terutama dalam perdagangan. Setelah jalur perdagangan India dengan Cina lewat
laut (tidak lagi melewati jalan darat), maka selat Malaka merupakan alternatif
terdekat yang dilalui pedagang. Dalam hubungan tersebut masuk dan berkembang
pula agama dan budaya India di Indonesia. Peristiwa masuknya agama dan
kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada abad pertama Masehi membawa pengaruh
yang sangat penting. Peristiwa tersebut menandai berakhirnya jaman prasejarah
Indonesia dan memasuki jaman sejarah serta membawa perubahan dalam susunan
masyarakat dan kebudayaan yang berkembang di Indonesia.
Proses masuknya pengaruh budaya
India ke Indonesia, sering disebut penghinduan. Pada dasarnya istilah ini
sebenarnya kurang tepat, karena disamping agama Hindu, masuk pula agama Budha.
Proses ini terjadi didahului adanya hubungan Indonesia dengan India, sebagai
akibat perubahan jalur perdagangan dari jalur tengah (sutera) berganti ke jalur
pelayaran (rempah-rempah. Hal ini didasarkan bukti peninggalan arca dan
prasasti di Indonesia. Sedangkan di India terdapat karya sastra, diantaranya
kitab Jataka, Ramayana dan Raghuwamsa. Kitab Jataka berisi kisah perjalanan
Budha yang menjumpai Swarnabhumi. Kitab Ramayana terdapat istilah Jawadwipa dan
Swarnabhumi. Kitab Raghuwamsa karya Kalisada tentang perdagangan India yang
menyebutkan Dwipantara sebagai asal bahan perdagangan cengkih atau lavanka.
Mengenai hipotesis/ teori masuknya pengaruh Hindu – Buddha di Indonesia, para
ahli berpendapat yang berlainan, dimana secara garis besar dibedakan atas:
- Teori Ksatria. Teori ini juga disebut teori prajurit atau kolonisasi yang dikemukakan CC. Berg dan FDK. Bosch. FDK. Bosch menggunakan istilah hipotesa ksatria. Menurut teori ini, peran utama masuknya budaya India ke Indonesia adalah ksatria. Hal ini disebabkan di India terjadi kekacauan politik yaitu perang brahmana dengan ksatria, para ksatria yang kalah melarikan diri ke Indonesia. Mereka mendirikan kerajaan dan menyebarkan agama Hindu. Pendukung teori ini kebanyakan sejarawan India, terutama Majumdar dan Nehru. Hipotesis ksatria banyak mengandung kelemahan yaitu tidak adanya bukti kolonisasi baik di India maupun di Indonesia. Kedudukan kaum ksatria dalam struktur masyarakat Hindu tidak memungkinkan menguasai masalah agama Hindu dan tidak nampak pemindahan unsur masyarakat India (sistem kasta, bentuk rumah, pergaulan dan sebagainya). Tidak mungkin para pelarian mendapat kedudukan sebagai raja di tempat yang baru.
- Teori Waisya. Teori ini dikemukakan NJ. Krom dan Mookerjee yang berpendapat; orang India tiba ke Asia tenggara pada umumnya dan khususnya Indonesia karena berdagang. Pelayaran perdagangan saat itu masih tergantung sistem angin muson. Sehingga pedagang India terpaksa tinggal di Indonesia selama beberapa saat untuk menanti bergantinya arah angin. Mereka banyak menikah dengan penduduk setempat. Keturunan dan keluarga pedagang ini merupakan awal penerimaan pengaruh India. Tampaknya teori ini mengambil perbandingan proses penyiaran Islam yang juga dibawa pedagang. Teori ini juga dibantah ahli lain, karena tidak setiap orang boleh menyentuh kitab Weda. Ajaran Hindu milik kaum brahmana dan hanya mereka yang memahami kitab Weda.
- Teori Brahmana. Teori ini dikemukakan JC. Van Leur, FDK. Bosch dan OW. Wolters yang berpendapat bahwa orang yang ahli agama Hindu adalah brahmana. Orang Indonesia/ kepala suku aktif mendatangkan brahmana untuk mengadakan upacara abhiseka secara Hindu, sehingga kepala suku menjadi maharaja. Dalam perkembangannya, para brahmana akhirnya menjadi purohito (penasehat raja). Teori ini tampaknya dianggap lebih mendekati kebenaran karena agama Hindu bersifat tertutup, dimana hanya diketahui kalangan brahmana. Prasasti yang ditemukan berbahasa Sanskerta dan huruf Pallawa. Candi yang ada di Indonesia banyak ditemukan arca Agastya. Disamping itu brahmana di Indonesia berkaitan dengan upacara Vratyastoma dan abhiseka.
- Teori Arus Balik/ Nasional. Teori arus balik atau disebut teori nasional ini muncul dikemukakan JC. Van Leur, dimana sebagai dasar berpikir adalah hubungan antara dunia maritim dengan perdagangan. Hubungan dagang Indonesia dengan India yang meningkat diikuti brahmana untuk menyebarkan agama Hindu dan Budha. Orang- orang Indonesia yang tertarik ajaran itu, mengirimkan kaum terpelajar ke India untuk berziarah dan menuntut ilmu. Setelah cukup lama, mereka kembali ke Indonesia dan ikut menyebarkan agama Hindu- Budha dengan menggunakan bahasa sendiri. Dengan demikian ajaran agama lebih cepat diterima bangsa Indonesia.
Berdasarkan beberapa teori tersebut,
para ahli sejarah membuat dua bentuk kemungkinan tentang proses masuknya agama
dan budaya Hindu Budha di Indonesia, yaitu :
- Bangsa Indonesia bersifat pasif. Hal ini memberikan pengertian bahwa masyarakat Indonesia hanya sekedar menerima budaya dari India. Dengan demikian akan menimbulkan kesan bila telah terjadi penjajahan / kolonisasi yang dilakukan bangsa India baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Bangsa Indonesia bersifat aktif. Hal ini memberikan pengertian bahwa masyarakat Indonesia sendiri ikut aktif dalam membawa dan menyebarkan agama dan budaya Hindu Budha di nusantara. Salah satu cara yaitu mengundang para brahmana dari India untuk memperkenalkan agama dan budayanya di Indonesia.
Bersamaan dengan masuk dan
berkembangnya agama Hindu, masuk dan berkembang pula agama Budha di Indonesia.
Dalam penyebaran agama Budha, dikenal misi penyiaran agama yang disebut
Dharmadhuta. Masuknya agama Budha diperkirakan pada abad 2 Masehi. Hal ini
didukung adanya bukti penemuan arca Budha dari perunggu di daerah Sempaga
(Sulsel) yang menggunakan langgam seni arca Amarawati (India selatan). Patung
sejenis juga ditemukan di daerah Bukit Siguntang (Sumsel) yang memperlihatkan
langgam seni arca Gandhara (India utara). Agama Budha yang berkembang di
Indonesia sebagian besar beraliran Budha Mahayana. Perkembangan agama Budha
mencapai masa puncak jaman kerajaan Sriwijaya.

Wujud Akulturasi Kebudayaan Hindu-Budha dengan Kebudayaan Indonesia

Pengertian Akulturasi:
Banyak para ahli yang memberikan definisi tentang
akulturasi, antara lain menurut pendapat Harsoyo.Akulturasi adalah fenomena yang
timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan
yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan
terus-menerus; yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang
original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya (Harsoyo).
Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa akulturasi sama dengan kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang
berbeda melebur menjadi satu menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak
menghilangkan kepribadian/sifat kebudayaan aslinya.Dengan adanya kontak dagang
antara Indonesia dengan India, maka mengakibatkan adanya kontak budaya atau
akulturasi yang menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan baru tetapi tidak
melenyapkan kepribadian kebudayaan sendiri.Hal ini berarti kebudayaan Hindu –
Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima seperti apa adanya, tetapi diolah,
ditelaah dan disesuaikan dengan budaya yang dimiliki penduduk Indonesia,
sehingga budaya tersebut berpadu dengan kebudayaan asli Indonesia menjadi
bentuk akulturasi kebudayaan Indonesia Hindu – Budha.
Wujud akulturasi tersebut dapat diamati pada uraian materi
unsur-unsur budaya berikut ini:
Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat
dilihat dari adanya penggunaan bahasa sansekerta yang dapat ditemukan sampai
sekarang dimana bahasa Sansekerta tersebut memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia.Penggunaan
bahasa Sansekerta pada awalnya banyak ditemukan pada prasasti (batu bertulis)
peninggalan kerajaan Hindu – Budha pada abad 5 – 7 M,Contohnya: prasasti
Yupa dari Kutai, prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Tetapi
untuk perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa
Melayu Kunoseperti yang ditemukan pada prasasti peninggalan kerajaan
Sriwijaya 7 – 13 M.Sedangkan untuk aksara, dapat dibuktikan dengan adanya
penggunaan huruf Pallawa,tetapi kemudian huruf Pallawa tersebut juga
berkembang menjadi huruf Jawa Kuno (kawi) dan huruf (aksara) Bali dan Bugis.
Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Dinoyo (Malang) yang
menggunakan huruf Jawa Kuno.
2. Religi/Kepercayaan
Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia
sebelum agama Hindu-Budha masuk ke Indonesia adalah kepercayaan yang
berdasarkan pada Animisme dan Dinamisme.Dengan masuknya agama Hindu – Budha ke
Indonesia, maka masyarakat Indonesia mulai menganut/mempercayai agama-agama
tersebut.Tetapi agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia sudah
mengalami perpaduan dengan kepercayaan Animisme dan Dinamisme, atau dengan kata
lainmengalami Sinkritisme.
Sinkritisme adalah bagian dari
proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi
satu.Untuk itu agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda
dengan agama Hindu – Budha yang dianut oleh masyarakat India.
Perbedaaan-perbedaan tersebut misalnya dapat dilihat dalam upacara ritual yang
diadakan oleh umat Hindu atau Budha yang ada di Indonesia. Contohnya, upacara
Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, upacara tersebut tidak
dilaksanakan oleh umat Hindu di India.Demikianlah penjelasan tentang contoh
wujud akulturasi dalam bidang religi/kepercayaan,untuk lebih memahaminya dapat
Anda meminta penjelasan atau mencari contoh-contoh lain kepada Guru bina Anda.
Selanjutnya simak uraian materi berikutnya.
3. Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial
kemasyarakatan dapat dilihat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan
yang berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India.Dengan adanya
pengaruh kebudayaan India tersebut, maka sistem pemerintahan yang berkembang di
Indonesia adalah bentuk kerajaan yang diperintah oleh seorang raja secara turun
temurun.Raja di Indonesia ada yang dipuja sebagai dewa atau dianggap keturunan
dewa yang keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya raja-raja yang memerintah di Singosari seperti
Kertanegara diwujudkan sebagai Bairawa dan R Wijaya Raja
Majapahit diwujudkan sebagai Harihari (dewa Syiwa dan Wisnu jadi
satu).Permerintahan Raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan
turun-temurun seperti di India dan ada juga yang menerapkan prinsip musyawarah.
Prinsip musyawarah diterapkan terutama apabila raja tidak mempunyai putra
mahkota yaitu seperti yang terjadi pada masa berlangsungnya kerajaan Majapahit,
dalam hal pengangkatan Wikramawardana.Wujud akulturasi di samping
terlihat dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem kemasyarakatan,
yaitu pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta.Sistem kasta
menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta :
- kastaBrahmana (golongan Pendeta),
- kasta Ksatria (golongan Prajurit, Bangsawan),
- kasta Waisya (golongan pedagang) dan
- kasta Sudra (golongan rakyat jelata).
Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai
oleh umat Hindu Indonesia tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada
di India karena kasta India benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek
kehidupan, sedangkan di Indonesia tidak demikian,karena di Indonesia kasta
hanya diterapkan untuk upacara keagamaan.
4. Sistem Pengetahuan
Wujud akulturasi dalam bidang pengetahuan, salah
satunya yaitu perhitungan waktu berdasarkan kalender tahun saka, tahun dalam
kepercayaan Hindu.Menurut perhitungan satu tahun Saka sama dengan 365 hari dan
perbedaan tahun saka dengan tahun masehi adalah 78 tahun sebagai contoh
misalnya tahun saka 654,maka tahun masehinya 654 + 78 = 732 M
Di samping adanya pengetahuan tentang kalender
Saka, juga ditemukan perhitungan tahun Saka dengan menggunakan
Candrasangkala.Candrasangkala adalah susunan kalimat atau gambar yang dapat
dibaca sebagai angka.Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasasti yang
ditemukan di pulau Jawa, dan menggunakan kalimat bahasa Jawa salah
satuContohnya yaitu kalimat Sirna ilang kertaning bhumi apabila
diartikan sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4 dan bhumi = 1,maka kalimat
tersebut diartikan dan belakang sama dengan tahun 1400 saka atau sama dengan 1478
M yang merupakan tahun runtuhnya Majapahit .
5. Peralatan Hidup dan Teknologi
Salah satu wujud akulturasi dari peralatan hidup
dan teknologi terlihat dalam seni bangunan Candi.Seni bangunan Candi tersebut
memang mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan candi-candi di Indonesia
tidak sama dengan candi-candi yang ada di India,karena Indonesia hanya
mengambil unsur teknologi perbuatannya melalui dasar-dasar teoritis yang
tercantum dalam kitab Silpasastra yaitu sebuah kitab pegangan yang
memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan.Untuk
itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat perbedaan
dimana bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden
berundak-undak,yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum
yang berfungsi sebagai tempat pemujaan.Sedangkan fungsi bangunan candi itu
sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut. Perkataan candi
berasal dari kata Candika yang merupakan salah satu nama dewi Durga atau dewi
maut, sehingga candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat
khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka.Di samping itu juga dalam bahasa
kawi candi berasal dari kata Cinandi artinya yang dikuburkan. Untuk itu yang
dikuburkan didalam candi bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai
macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yangdisebut dengan Pripih.Dengan
demikian fungsi candi Hindu di Indonesia adalah untuk pemujaan terhadap roh
nenek moyang atau dihubungkan dengan raja yang sudah meninggal. Hal ini
terlihat dari adanya lambang jasmaniah raja sedangkan fungsi candi di India
adalah untuk tempat pemujaan terhadap dewa, contohnya seperti candi-candi yang
terdapat di kota Benares merupakan tempat pemujaan terhadap dewa Syiwa.

Gambar 1.2. Candi
Jago
Gambar 1.2. adalah gambar candi juga salah satu
peninggalan kerajaan Singosari yang merupakan tempat dimuliakannya raja
Wisnuwardhana yang memerintah tahun 1248 – 1268.Dilihat dari gambar candi
tersebut, bentuk dasarnya adalah punden berundak- undak dan pada bagian bawah
terdapat kaki candi yang di dalamnya terdapat sumuran candi,di mana di dalam
sumuran candi tersebut tempat menyimpan pripih (lambang jasmaniah raja
Wisnuwardhana).Dari penjelasan tersebut di atas, apakah Anda sudah memahami?
Kalau Anda sudah paham, simaklah urutan materi berikutnya.Untuk candi yang
bercorak Budha fungsinya sama dengan di India yaitu untuk memuja Dyani
Bodhisattwa yang dianggap sebagai perwujudan dewa, maka untuk memperjelas
pemahaman candi Budha berikut ini .

Gambar 1.3. Candi
Borobudur
Gambar 1.3. candi Borobudur adalah candi Budha
yang terbesar sehingga merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia dan
merupakan salah satu peninggalan kerajaan Mataram, dilihat dari 3 tingkatan,
pada tingkatan yang paling atas terdapat patung Dyani Budha.Patung-patung Dyani
Budha inilah yang menjadi tempat pemujaan umat Budha.Di samping itu juga pada
bagian atas, juga terdapat atap candi yang berbentuk stupa.Untuk candi Budha di
India hanya berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia stupa merupakan ciri khas
atap candi-candi yang bersifat agama Budha. Dengan demikian seni bangunan candi
di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri karena Indonesia hanya mengambil
intinya saja dari unsur budaya India sebagai dasar ciptaannya dan hasilnya
tetap sesuatu yang bercorak Indonesia.
6. Kesenian
Wujud akulturasi dalam bidang kesenian terlihat
dari seni rupa, seni sastra dan seni pertunjukan .Dalam seni rupa contoh wujud akulturasinya
dapat dilihat dari relief dinding candi (gambar timbul), gambar timbul pada
candi tersebut banyak menggambarkan suatu kisah/cerita yang berhubungan dengan
ajaran agama Hindu ataupun Budha.
Contoh dapat Anda amati gambar 1.4.
Gambar 1.4. Relief
Candi Borobudur
Gambar 1.4 adalah relief dari candi Borobudur
yang menggambarkan Budha sedang digoda oleh Mara yang menari-nari diiringi
gendang, hal ini menunjukkan bahwa relief tersebut mengambil kisah dalam
riwayat hidup Sang Budha seperti yang terdapat dalam kitab
Lalitawistara.Demikian pula di candi-candi Hindu, relief yang juga mengambil
kisah yang terdapat dalam kepercayaan Hindu seperti kisah Ramayana. Yang
digambarkan melalui relief candi Prambanan ataupun candi Panataran.
Dari relief-relief tersebut apabila diamati lebih
lanjut, ternyata Indonesia juga mengambil kisah asli ceritera tersebut, tetapi
suasana kehidupan yang digambarkan oleh relief tersebut adalah suasana
kehidupan asli keadaan alam ataupun masyarakat Indonesia.Dengan demikian
terbukti bahwa Indonesia tidak menerima begitu saja budaya India, tetapi selalu
berusaha menyesuaikan dengan keadaan dan suasana di Indonesia.Untuk wujud
akulturasi dalam seni sastra dapat dibuktikan dengan adanya suatu
ceritera/kisah yang berkembang di Indonesia yang bersumber dari
- kitab Ramayana yang ditulis oleh Walmiki dan
- kitab Mahabarata yang ditulis oleh Wiyasa.
Kedua kitab tersebut merupakan kitab kepercayaan
umat Hindu. Tetapi setelah berkembang di Indonesia tidak sama proses seperti
aslinya dari India karena sudah disadur kembali oleh pujangga-pujangga
Indonesia, ke dalam bahasa Jawa kuno. Dan,tokoh-tokoh cerita dalam kisah
tersebut ditambah dengan hadirnya tokoh punokawan seperti Semar, Bagong, Petruk
dan Gareng. Bahkan dalam kisah Bharatayuda yang disadur dari kitab Mahabarata
tidak menceritakan perang antar Pendawa dan Kurawa,melainkan menceritakan
kemenangan Jayabaya dari Kediri melawan Jenggala.Di samping itu juga, kisah
Ramayana maupun Mahabarata diambil sebagai suatu ceritera dalam seni
pertunjukan di Indonesia yaitu salah satunya pertunjukan Wayang.

Seni pertunjukan wayang merupakan salah satu
kebudayaan asli Indonesia sejak zaman prasejarah dan pertunjukan wayang
tersebut sangat digemari terutama oleh masyarakat Jawa.Untuk itu wujud
akulturasi dalam pertunjukan wayang tersebut terlihat dari pengambilan lakon
ceritera dari kisah Ramayana maupun Mahabarata yang berasal dari budaya India,
tetapi tidak sama persis dengan aslinya karena sudah mengalami
perubahan.Perubahan tersebut antara lain terletak dari karakter atau perilaku
tokoh-tokoh ceritera misalnya dalam kisah Mahabarata keberadaan tokoh Durna,
dalam cerita aslinya Dorna adalah seorang maha guru bagi Pendawa dan Kurawa dan
berperilaku baik, tetapi dalam lakon di Indonesia Dorna adalah tokoh yang
berperangai buruk suka menghasut.Demikian penjelasan tentang wujud akulturasi
dalam bidang kesenian. Dan yang perlu dipahami dari seluruh uraian tentang
wujud akulturasi tersebut bahwa unsur budaya India tidak pernah menjadi unsur
budaya yang dominan dalam kerangka budaya Indonesia, karena dalam proses
akulturasi tersebut, Indonesia selalu bertindak selektif.Untuk memudahkan Anda
dalam memahami uraian materi wujud akulturasi Kebudayaan Indonesia dengan
Kebudayaan India, maka simaklah ikhtisar dari wujud akulturisasi tersebut
seperti pada tabel 1.3 berikut ini.
Tabel 1.3. Ikhtisar wujud
kulturasi kebudayaan Indonesia dengan
Sejarah
Kerajaan Kutai & Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya
Hai.. kali ini sejarah kerajaan
kutai & kehidupan masyarakatnya baik itu bidang ekonomi, sosial, budaya
dari Kerajaan Kutai. Sejarah kerajaan Kutai dimulai dari Sejak abad pertama Masehi, bangsa Indonesia
sudah menjalin hubungan dengan wilayah Indonesia, bangsa Indonesia mulai
mengenai tulisan dan kebudayaan lainnya berdasarkan agama Hindu. Dengan
demikian, bangsa Indonesia sudah mengakhiri zaman Prasejarah dan mulai memasuki
zaman Sejarah. Hal ini dibuktikan bahwa penduduk Nusantara telah meninggalkan
peninggalan tertulis. Banyak peniliti sejarah yang menyatakan bahwa Kerajaan
Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia.
Kerajaan Kutai terletak di aliran
sungai mahakam, Kalimantan Timur. Kerajaan Kutai bercorak Hindu.
Bukti yang mendukung pernyataan itu adalah ditemukannya tujuh buah yupa
pada tahun 1879 dan 1940 didaerah aliran sungai Mahakam. Yupa adalah
sebuah bangunan tugu batu tertulis yang berisi suatu peringatan upacara
berkorban. Yupa tersebut menggunakan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta
dalam bentuk syair. Huruf Pallawa dan bahasa sanskerta lazim digunakan oleh
kaum bramanan dari India Selatan. Dari Yupa tersebut diketahui bahwa pada
sekitar tahun 400-500 Masehi telah berdiri Kerajaan Kutai. Yupa tersebut
dibuat atas perintah Raja Mulawarman pada upacara kurban lembu. Dari tulisan
itu diketahui bahwa raja yang memerintah ialah Mulawarman, anak Aswawarman,
cucu Kudungga. Aswawarman disebut dengan wamsakerta artinya pembentuk keluarga.
Prasasti lainnya menyebutkan adanya
hadiah dari Raja Mulawarman kepada pendeta ditempat suci bernama Waprakeswara berupa
20.000 ekor lembu sebagai tanda kebaikan sang raja. Untuk menghormati kebaikan
raja tersebut dibuatlah yupa oleh para brahmana. Bentuk hadiah atau kurban
(sedekah) yang besar itu dapat dianggap sebagai kelengkapan dalam upacara
penyucian diri untuk masuk ke dalam Kasta Brahmana bagi keluarga raja. Upacara
semacam itu di India disebut dengan Vratyastoma.
Agama yang dianut Raja Mulawarman adalah Hindu
Syiwa. Hal itu ditunjukkan oleh salah satu prasastinya yang menyebutkan
tempat suci Waprakeswara, yaitu tempat suci yang selalu disebut berhubungan
dengan tiga dewa besar (trimurti) yaitu Brahma, Wisnu, Syiwa.
Kerajaan Kutai mengalami perkembangan yang pesat pada saat itu karena merupakan tempat yang baik untuk persinggahan kapal-kapal yang menempuh rute perdagangan melalui Selat Makassar. Hal itu diperkuat dengan ditemukannya peninggalan di Sulawesi Selatan berupa Arca Dewi Tara yang biasa dipuja para pelaut yang akan berlayar.
Perkembangan Kerajaan Kutai selanjutnya tidak banyak diketahui karena keterbatasan sumber tertulis yang berupa prasasti.
Kerajaan Kutai mengalami perkembangan yang pesat pada saat itu karena merupakan tempat yang baik untuk persinggahan kapal-kapal yang menempuh rute perdagangan melalui Selat Makassar. Hal itu diperkuat dengan ditemukannya peninggalan di Sulawesi Selatan berupa Arca Dewi Tara yang biasa dipuja para pelaut yang akan berlayar.
Perkembangan Kerajaan Kutai selanjutnya tidak banyak diketahui karena keterbatasan sumber tertulis yang berupa prasasti.
Kehidupan
Masyarakat Pada Masa Kerajaan Kutai
a.
Bidang
Ekonomi. Kerajaan Kutai terletak di aliran
SUngai Mahakam, Kalimantan Timur. Kehidupan ekonomi Kerajaan Kutai didukung
oleh perdagangan dan pelayaran di sepanjang Sungai Mahakam. Sektor pertanian
dijadikan sebagai bahan dalam menentukan kondisi perdagangan. Letak Kerajaan
Kutai yang sangat strategis berada pada jalur pelayaran di Selat Makassar
tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi masyarakat khususnya
bidang perdagangan
b. Bidang Sosial. Prasasti-prasasti
peninggalan Kerajaan Kutai menunjukkan bahwa masyarakat Kutai telah terpengaruh
oleh peradaban India, terutama kalangan keluarga kerajaan. Pada dasarnya,
sebagian masyarakat Kutai menerima unsur budaya yang datang dari India.
Meskipun begitu, sebagian besar rakyat Kutai masih berpegang kepada kepercayaan
warisan leluhurnya. Unsur-unsur budaya India yang masuk tersebut disesuaikan
dengan tradisi bangsa Indonesia sendiri.
c. Bidang Budaya. Prasasti berbentuk Yuoa merupakan ciri khas peninggalan kebudayaan Kerajaan Kutai. Penggunaan huruf Pallawa menunjukkan adanya pengaruh India Selatan dalam penulisan pada prasasti berbentuk Yupa tersebut. Perlu diingat bahwa yupa merupakan bentuk kelanjutan dari kebudayaan asli nenek moyang bangsa Indonesia zaman Megalitikum. Yupa merupakan perkembangan dari bentuk menhir yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja roh nenek moyang. Yupa diperkirakan sebagai tempat untuk mengikat korban yang akan dipersembahkan kepada para dewa.
c. Bidang Budaya. Prasasti berbentuk Yuoa merupakan ciri khas peninggalan kebudayaan Kerajaan Kutai. Penggunaan huruf Pallawa menunjukkan adanya pengaruh India Selatan dalam penulisan pada prasasti berbentuk Yupa tersebut. Perlu diingat bahwa yupa merupakan bentuk kelanjutan dari kebudayaan asli nenek moyang bangsa Indonesia zaman Megalitikum. Yupa merupakan perkembangan dari bentuk menhir yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja roh nenek moyang. Yupa diperkirakan sebagai tempat untuk mengikat korban yang akan dipersembahkan kepada para dewa.
PERKEMBANGAN
KERAJAAN TARUMANEGARA
sumber sejarah dan peninggalan
kerajaan Tarumanegara lengkap.
Indonesia memang salah satu negara yang memiliki banyak cerita dan sejarah
kebudayaan oleh karena itu kita sebagai anak bangsa harus terus menjaga
kebudayaan tersebut agar kebudayaan yang kita miliki saat ini tidak direbut
oleh bangsa lain. Pada kesempatan ini saya ingin berbagi informasi kepada anda
para pelajar dan seluruh masyarakat Indonesia mengenai sejarah kerajaan Taruma
Negara beserta peninggalan-peninggalan sejarah kerajaan ini.
Dari berbagai sumber yang saya
dapat Pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah Rajadirajaguru
Jayasingawarman yaitu pada tahun 358 M, lalu digantikan oleh putranya,
Dharmayawarman pada tahun (382-395 M). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali
Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga. Maharaja Purnawarman adalah
raja Kerajaan Tarumanegara yang ketiga yaitu pada tahun (395-434 M). Ia
membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 M yang terletak lebih dekat ke
pantai. Kota itu diberi nama Sundapura pertama kalinya nama Sunda digunakan.
Pada tahun 417 M ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga
sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu
mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana
(Brahmana adalah salah satu golongan karya atau warna dalam agama Hindu. Mereka
adalah golongan cendekiawan yang mampu menguasai ajaran, pengetahuan, adat,
adab hingga keagamaan)
Melalui peninggalan sejarah Prasasti Pasir Muara telah menyebutkan bahwa peristiwa pengembalian pemerintahan kepada raja Sunda itu dibuat tahun 536 M, pada tahun itu yang menjadi penguasa Kerajaan Tarumanegara adalah Suryawarman tahun (535 – 561 M) raja Kerajaan Tarumanegara ke-7. Dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Kerajaan Tarumanegara.Melalui prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan ibukota sundapura telah berganti status menjadi kerajaan daerah dan hal ini berarti, pusat pemerintahan Kerajaan Tarumanegara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota perak), yang disebut argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I – VIII). Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanegara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah menantu raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan maharaja Samudragupta dari kerajaan Magada.
Melalui peninggalan sejarah Prasasti Pasir Muara telah menyebutkan bahwa peristiwa pengembalian pemerintahan kepada raja Sunda itu dibuat tahun 536 M, pada tahun itu yang menjadi penguasa Kerajaan Tarumanegara adalah Suryawarman tahun (535 – 561 M) raja Kerajaan Tarumanegara ke-7. Dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Kerajaan Tarumanegara.Melalui prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan ibukota sundapura telah berganti status menjadi kerajaan daerah dan hal ini berarti, pusat pemerintahan Kerajaan Tarumanegara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota perak), yang disebut argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I – VIII). Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanegara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah menantu raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan maharaja Samudragupta dari kerajaan Magada.
1. Prasasti Tugu

Isi prasasti Tugu berbunyi :
"pura rajadhirajena guruna
pinabahuna khata khyatam purim prapya candrabhagarnnavam yayau//
pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana//
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih
ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka//
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina//"
Terjemahan:
“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) beliau pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”
pravarddhamane dvavingsad vatsare sri gunau jasa narendradhvajabhutena srimata purnavarmmana//
prarabhya phalguna mase khata krsnastami tithau caitra sukla trayodasyam dinais siddhaikavingsakaih
ayata satsahasrena dhanusamsasatena ca dvavingsena nadi ramya gomati nirmalodaka//
pitamahasya rajarser vvidaryya sibiravanim brahmanair ggo sahasrena prayati krtadaksina//"
Terjemahan:
“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) beliau pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”
2. Prasasti Kebon Kopi

Prasasti ini ditemukan pada abad ke 19 di kmpung Muara yang saat ini menjadi wilayah Ds. Ciaruteun llir, Cibungbulang Bogor.
Isi Prasasti Kebun Kopi berbunyi : ~ ~ jayavisalasya Tarumendrasya hastinah ~ ~ Airwavatabhasya vibhatidam= padadvayam
Terjemahan :
“Di sini nampak tergambar sepasang telapak kaki…yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam….dan (?) kejayaan”. Karena tulisan dalam prasasti sudah agak kabur sehingga sulit diterjemahkan dan maknanya sulit diungkap, maka yang dapat dibaca dan diterjemahkan hanyabeberapa kata/kalimat saja.
3. Prasasti Cidanghiyang/Lebak

Prasasti ini berisi dua baris puisi dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta ditemukan di desa dataran rendah di tepi Sungai Cidahiyang.
Prasasti ini mengisahkan mengenai kebesaran dan keberanian Raja Purnawarman. Kisah ini diawali oleh merajalelanya perompak laut yang beraktivitas di wilayah Kerajaan Tarumanegara. Perompak laut itu sudah kelewat meresahkan Kerajaan Tarumanegara dengan klimaksnya perompakan terhadap perahu pejabat Kerajaan Tarumanegara. Kabar ini begitu didengar oleh Raja Purnawarwan maka beliau sendiri yang berkehendak ingin mengatasinya.
Prasasti Lebak dikenal juga dengan nama Prasasti Munjul atau Prasasti Cidahiyang.
4. Prasasti Jambu

Prasasti ini pertama kali ditemukan di Desa Parakan muncang kec. Nanggung , Kab Bogor oleh Jonathan Rigg kemudian dilaporkan ke dinas Purbakala pada tahun 1947.
Isi Prasasti Jambu : “shirman data kertajnyo narapatir – asamo yah pura tarumayam nama shri purnawarman pracuraripucara fedyavikyatavarmrno tasyedam-padavimbadvayam arna garotsadane nitya-dakshambhaktanamyandripanan-bhavati sukhakakaramshalyabhutam ripunam.”
Terjemahannya :
“Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang pernah memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh–musuhnya. Kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh–musuhnya.”
5. Prasasti Ciaruteun

Prasasti
ini terletak di Ds. Ciaruteun, Kec. CibungBulang , Kab. Bogor.
Isi Prasasti Ciaruteun : "vikkrantasyavanipat eh srimatah purnnavarmmanah tarumanagarendrasya visnoriva padadvayam"
Terjemahan: “inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki dewa Visnu (pemelihara) ialah telapak yang mulia sang Purnnawamman, raja di negri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.
Isi Prasasti Ciaruteun : "vikkrantasyavanipat eh srimatah purnnavarmmanah tarumanagarendrasya visnoriva padadvayam"
Terjemahan: “inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki dewa Visnu (pemelihara) ialah telapak yang mulia sang Purnnawamman, raja di negri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.
6. Prasasti Pasir Awi

Prasasti Pasir Awi berpahatkan gambar dahan dengan ranting dan dedaunan serta buah-buahan (bukan aksara) juga berpahatkan gambar sepasang telapak kaki.
7. Prasasti Muara Cianten .

Prasasti Muara Cianten dipahatkan pada batu besar dan alami dengan ukuran 2.70 x 1.40 x 140 m3. Peninggalan sejarah ini disebut prasasti karena memang ada goresan tetapi merupakan pahatan gambar sulur-suluran (pilin) atau ikal yang keluar dari umbi.
PERKEMBANGAN KERAJAAN SRIWIJAYA
Kerajaan Sriwijaya Menurut sejumlah ahli, seperti Coedes, K.A. Nilakanta
Sastri, R. Ng. Poerbatjaraka, R.B. Slamet Muljana, O.W. Wolters dan B. Bronson,
Kerajaan Sriwijaya berpusat di pantai timur Sumatera Selatan, tepatnya di
Palembang. Sementara itu, terdapat ahli lain yang menyebutkan bahwa Palembang
bukan merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan hasil penelitan J.L.
Moens, menyebutkan pusat Kerajaan Sriwijaya mula-mula di Kedah, kemudian pindah
ke daerah Muara Takus. Menurut Soekmono, pusat Kerajaan Sriwijaya adalah Jambi.
Ahli lahirnya, Boechari menyebutkan bahwa Ibu Kota Sriwijaya ada di daerah
Batang Kuantan, sebelum 682 M. Sesudah itu, ibu kota berpindah ke Mukha Upang
di daerah Palembang. Pendapat terakhir mengenai itu datang dari Chan Chirayu
Rajani yang menyebut Chaiya di Thailand sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya. Ia
mendasarkan pendapatnya pada sejumlah sumber sejarah yang tertulis dalam bahasa
Thai.
Sumber Sejarah
Melihat asalnya, sumber sejarah yang
menyatakan keberadaan Kerajaan Sriwijaya sangat kaya. Sumber sejarah yang
berupa prasasti, selain ditemukan di dalam negeri (Sumatera) juga ditemukan di
India. Sumber sejarah lainnya yang berupa catatan perjalanan diperoleh dari
Arab, India, dan Cina. Berikut ini adalah rinciannya.
Prasasti. Prasasti yang diperoleh di
dalam negeri, terutama Sumatera adalah sebagai berikut.
- Prasasti Kedukan Bukit. Ditemukan di Kedukan Bukit di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. Prasasti ini berangka tahun 605 Saka atau 688 M. Isinya menceritakan perjalanan Dapunta Hyang menaklukan suatu daerah atau kerajaan.
- Prasasti Talang Tuo. Ditemukan di daerah Talang Tuo, dekat Palembang. Berangka tahun 606 Saka atau 684 M. Isinya menceritakan pembuatan taman Srikserta oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga.
- Prasasti Telaga Batu. Ditemukan di Telaga Batu, dekat Palembang. Tak berangka tahun. Isinya berupa kutukan bagi mereka yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada perintah raja.
- Prasasti Kota Kapur. Ditemukan di Kota Kapur, Pulau Bangka. Berangka tahun 686 M. Isinya menerangkan bahwa bumi Jawa tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.
- Prasasti Karang Berahi. Ditemukan di daerah Jambi Hulu. Berangka tahun 686 M. Isinya terutama mengenai permintaan kepada para dewa yang menjaga kedatuan Sriwijaya untuk menghukum setiap orang yang bermaksud jahat dan mendurhakai terhadap kekuasaan Sriwijaya.
- Prasasti Palas Pasemah. Ditemukan di Palas Pasemah, Lampung Selatan. Prasasti ini menyebutkan didudukinya daerah Lampung Selatan oleh Sriwijaya pada akhir abad ke-7 Masehi.
Adapun prasasti yang ditemukan di
luar negeri adalah sebagai berikut.
- Prasasti Ligor (Malaysia). Tempat ditemukan prasasti ini adalah di daerah Ligor Semenanjung Malaya. Berangka tahun 775 Masehi. Isinya menerangkan bahwa Kerajaan Sriwijaya (Sumatera) mendirikan sebuah pangkalan di Semenanjung Malaya, daerah Ligor untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
Keruntuhan Sriwijaya
Kemunduran yang berakhirnya Kerajaan
Sriwijaya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
- Pada tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, soerang dari dinasti Cholda di Koromande, India Selatan. Dari dua serangan tersebut membuat luluh lantah armada perang Sriwijaya dan membuat perdagangan di wilayah Asia-tenggara jatuh pada Raja Chola. Namun Kerajaan Sriwijaya masih berdiri.
- Melemahnya kekuatan militer Sriwijaya, membuat beberapa daerah taklukannya melepaskan diri sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
- Melemahnya Sriwijaya juga diakibatkan oleh faktor ekonomi. Para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang karena daerha-daerah strategis yang dulu merupakan daerah taklukan Sriwijaya jatuh ke tangan raja-raja sekitarnya.
- Munculnya kerajaan-kerajaan yang kuat seperti Dharmasraya yang sampai menguasai Sriwijaya seutuhnya serta Kerajaan Singhasari yang tercatat melakukan sebuah ekspedisi yang bernama ekspedisi Pamalayu.
Kerajaan Sriwijaya pun akhirnya
runtuh di tangan Kerajaan Majapahit pada abad ke-13.
- Prasasti Nalanda (India). Prasasti Nalanda ditemukan di Nalanda, India berasal dari abad ke-9 Masehi. Prasasti ini menceritakan tentang pembangunan wihara di India oleh Raja Balaputradewa (Raja Sriwijaya) untuk kepentingan para peziarah dari Sriwijaya.
Berita Asing. Berita asing yang
menjadi sumber sejarah mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai
berikut.
- Berita Arab. Berita Arab diperoleh dari Ibn Hordadzbeh (844-848 M), Sulayman (851 M), Ibn Al-Fakih (902 M), Ibn Rosteh (903 M), dan Abu Zayd (916 M). Mereka adalah para pedagang Arab yang menceritakan pengalamannya masing-masing mengenai keberadaan Sriwijaya beserta barang dagangan yang diperjualbelikan pada masanya.
- Berita Cina. Berita Cina yang menerangkan keberadaan Sriwijaya, terutama berasal dari kitab sejarah Dinasti Sung dan Ming. Dalam kitab tersebut disebutkan nama-nama Raja Sriwijaya dalam lafal Cina serta menerangkan hubungan yang erat antara kedua kerajaan. Hubungan itu ditandai dengan saling mengirimkan utusan satu sama lain serta adanya hubungan dagang dan keagamaan.
- Berita India. Prasasti Nalanda adalah sumber utama yang menjadi rujukan tentang adanya Kerajaan Sriwijaya yang diperoleh dari India. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan dengan raja-raja di India, seperti raja dari Kerajaan Nalanda dan Cholamandala. Kerajaan Cholamandala kemudian memerangi Sriwijaya karena hendak menguasai Selat Malaka.
Kehidupan Politik
Dalam catatan sejarah Indonesia,
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan terbesar pertama yang memiliki pengaruh
kuat di Asia Tenggara. Sriwijaya menguasai dan mengontrol seluruh jalur
perdagangan di Asia Tenggara, baik yang melalui Selat Sunda, Malaka, Karimata,
dan Tanah Genting Kra. Di samping itu, Sriwijaya juga berhasil menguasai daerah
Indonesia sebelah barat, Semenanjung Melayu, dan bagian selatan Filipina. Oleh
karena itu, Sriwijaya disebut juga Kerajaan Thelasocrasi, yakni kerajaan yang
berhasil menguasai pulau-pulau di sekitarnya.
Kebesaran Sriwijaya seperti yang
pernah diceritakan para penulis Arab dan Cina itu tak pernah lengkap dan utuh.
Raja-raja yang pernah memerintah di sana hanya diketahui tiga nama saja.
Sementara itu, bukti-bukti sejarah menunjukkan Kerajaan Sriwijaya berusia cukup
panjang, sejak abad ke-7 hingga abad ke-14. Ketiga nama raja itu ialah Raja
Dapunta Hyang, Raja Balaputradewa, dan Raja Sanggrama Wijayattunggawarman.
Setelah itu, nama Sriwijaya
tenggelam. Selanjutnya, penjelasan mengenai Sriwijaya diperoleh dari sumber
yang berasal dari tahun 1477. Penjelasan itu menerangkan bahwa Raja Majapahit
mengirimkan tentaranya untuk menaklukan raja-raja Sumatera yang memberontak
terhadap kekuasaan Majapahit. Salah satu di antaranya ialah Raja Sriwijaya.
Dengan ditaklukannya Kerajaan Sriwijaya oleh Majapahit maka berakhirlah riwayat
kerajaan itu.
Raja-raja
yang berhasil diketahui pernah memerintah Kerajaan Sriwijaya diantaranya
sebagai berikut :
- Raja Dapunta Hyang. Berita mengenai raja ini diketahui melalui Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah berhasil memeperluas wilayak kekuasaannya sampai ke wilayah Jambi, yaitu dengan menduduki daerah Minangatamwan. Daerah ini memiliki arti yang sangat strategis dalam bidang perekonomian, karena daerah ini dekat dengan jalur perhubungan pelayaran perdagangan di Selat Malaka. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi Kerajaan Maritim.
- Raja Balaputra Dewa. Pada awalnya, Raja Balaputra Dewa adalah raja dari kerajaan Syailendra (di Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan Syailendra antara Balaputra Dewa dan Pramodhawardani (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputra Dewa mengalami kekalahan. Akibat kekalahan itu, Raja Balaputra Dewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya berkuasa Raja Dharma Setru (kakek dari Raja Balaputra Dewa) yang tidak memiliki keturunan, sehingga kedatangan Raja Balaputra Dewa di Kerajaan Sriwijaya disambut baik. Kemudian, ia diangkat menjadi raja. Pada masa pemerintahan Raja Balaputra Dewa, Kerajaan Sriwijaya berkembang semakin pesat. Raja Balaputra Dewa meningkatkan kegiatan pelayaran dan perdagangan rakyat Sriwijaya. Di samping itu, Raja Balaputra Dewa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang berada di luar wilayah Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti Kerajaan Benggala (Nalanda) maupun Kerajaan Chola. Bahkan pada masa pemerintahannya, kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara.
- Raja Sanggrama Wijayattunggawarman. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Sriwijaya mendapat ancaman dari Kerajaan Chola. Di bawah pemerintahan Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan Sriwijaya. Raja Sriwijaya yang bernama Sanggrama Wijayattunggawarman berhasil ditawan. Namun pada masa pemerintahan Raja Kulotungga I di Kerajaan Cho, Raja Sanggrama Wijayattunggawarman dibebaskan kembali.
Kehidupan Sosial
Dari berbagai sumber sejarah seperti
diungkap sebelumnya, dapatlah ditafsirkan bahwa kehidupan sosial masyarakat
Kerajaan Sriwijaya mengalami dinamika yang tinggi. Ada saatnya ketika rakyat
terlibat dalam berbagai penaklukkan dan perluasan wilayah Sriwijaya. Kemudian,
masa ketika masyarakat menikmati suasana yang tenang. Terakhir, sebuah masa
ketika masyarakat Sriwijaya mengalami goncangan karena sejumlah penyerangan
yang dilakukan pesaing-pesaing Sriwijaya, baik yang berasal dari Jawa maupun
India. Dalam suasana yang stabil, Sriwijaya dan masyarakatnya tampil menjadi
pusat pengajaran Buddha di kawasan Asia Tenggara. Tersebutlah nama-nama guru
besar agama Buddha, seperti Dharmapala dan Sakyakirti. Dari situ, jelaslah
bagaimana gambaran kehidupan sosial masyarakat Sriwijaya.
Kehidupan Ekonomi
Untuk menjelaskan bagaimana
kehidupan ekonomi Sriwijaya, sebaiknya dipahami terlebih dulu posisi geografis
Sriwijaya. Secara geografis, Sriwijaya berada di antara dua pusat peradaban
Asia, yakni India di barat dan Cina di sebelah timur. Kedua pusat peradaban itu
secara intensif melakukan hubungan dagang. Dengan demikian, kawasan Sriwijaya
menjadi jalur sekaligus mata rantai yang menghubungkan keduanya. Lambat laun,
masyarakat Sriwijaya terlibat dalam hubungan tersebut. Pantai-pantai yang
strategis di Selat Malaka sering dijadikan tempat bongkar muat berbagai barang
dagangan. Oleh karena itu, tumbuhlah penguasa-penguasa setempat yang kemudian
berperan sebagai pedagang. Dalam kaitan itu, hasil bumi dari tanah Sriwijaya
semakin menguatkan dugaan bahwa kehidupan ekonomi masyarakat Sriwijaya bertumpu
pada kegiatan pelayaran dan perdagangan.
Kehidupan Budaya
Tonggak kehidupan budaya masyakarat
Sriwijaya yang sangat dibanggakan adalah pada saat Sriwijaya menjadi pusat
pengajaran ajaran Buddha di Asia Tenggara. Para pendeta yang berasal dari
wilayah sebelah timur Sriwijaya, seperti Cina dan Tibet banyak yang menetap di
Sriwijaya. Tujuan mereka adalah belajar ajaran Buddha sebelum mereka belajar di
tanah asal lahirnya ajaran itu (India). Pada tahun 1011– 1023, datang seorang
pendeta Buddha dari Tibet untuk memperdalam pengetahuannya tentang agama Buddha
di Sriwijaya. Pendeta itu bernama Atisa dan menerima bimbingan langsung dari
guru besar agama Buddha di Sriwijaya, yaitu Dharmakitri.
Hal lain yang berkaitan dengan itu
ialah mengenai adanya pemberitaan bahwa pada tahun 1006, Raja Sriwijaya,
Sanggrama Wijayatunggawarman mendirikan sebuah wihara di India Selatan, yaitu
di Nagipattana. Wihara ini dilengkapi dengan asrama yang dikhususkan bagi
tempat tinggal para biksu yang berasal dari Sriwijaya yang tengah memperdalam
ajaran Buddha di India. Secara budaya, hal ini jelas menunjukkan bahwa
raja-raja Sriwijaya memiliki perhatian yang besar pada pengembangan budaya dan
pendidikan, khususnya mengenai pendidikan pengajaran agama Buddha.[gs]
Kerajaan
Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar yang terletak di Sumatera Selatan.
Menurut para ahli, pusat Kerajaan Sriwijaya ada di Palembang dan diperkirakan
telah berdiri pada abad ke-7 M. Sumber sejarah kerajaan Sriwijaya berupa
prasasti dan berita Cina. Sumber yang berupa prasasti terdiri atas dua, yaitu
prasasti yang berasal dari dalam negeri dan prasasti yang berasal dari luar
negeri.
Prasasti
yang berasal dari dalam negeri antara lain: prasasti Kedukan Bukit (683 m),
Talang Tuwo (684 m), Telaga Batu (683), Kota Kapur (686), Karang Berahi (686),
Palas Pasemah dan Amoghapasa (1286). Sementara itu, prasasti yang berasal dari
luar negeri antara lain; Ligor (775), Nalanda, Piagam Laiden, Tanjore (1030 M),
Canton (1075 M), Grahi (1183 M) dan Chaiya (1230).
Begitu pula sumber naskah dan buku yang berasal dari dalam negeri adalah kitab Pararaton, sedangkan dari luar negeri antara lain kitab memoir dan record karya I-Tsing, Kronik dinasti Tang, Sung, dan Ming, kitab Lingwai-tai-ta karya Chou-ku-fei dan kitab Chu-fon-chi karya Chaou- fu hua.
Begitu pula sumber naskah dan buku yang berasal dari dalam negeri adalah kitab Pararaton, sedangkan dari luar negeri antara lain kitab memoir dan record karya I-Tsing, Kronik dinasti Tang, Sung, dan Ming, kitab Lingwai-tai-ta karya Chou-ku-fei dan kitab Chu-fon-chi karya Chaou- fu hua.
Para
sejarawan masih berbeda pendapat tentang Sriwijaya yaitu awal berkembang dan
berakhirnya serta lokasi ibu kotanya. Menurut Coedes, Sriwijaya berkembang pada
abad ke-7 di Palembang dan runtuh pada abad ke-14. Pendapatnya didasarkan pada
ditemukannya toponim Shih Li Fo Shih dan San Fo Tsi. Menurutnya Shih Li Fo Shih
merupakan perkataan Cina untuk menyebut Sriwijaya.
Sementara
itu, San Fo Tsi yang ada pada sumber Cina dari abad ke-9 sampai dengan abad
ke-14 merupakan kependekan dari Shih Li Fo Shih. Slamet Mulyana berpendapat
lain, dia setuju dengan pendapat Coedes yang menganggap bahwa Shih Li Fo Shih
adalah Sriwijaya, namun San Fo Tsi tidak sama dengan Shih Li Fo Shih.
Menurutnya Sriwijaya berkembang sampai abad ke-9, dan sejak itu Sriwijaya
berhasil ditaklukkan oleh San Fo Tsi (Swarnabhumi).
Mengenai
ibu kota Sriwijaya, para ahli mendasarkan pendapatnya pada daerah yang
disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit yaitu Minanga. Prasasti Kedukan Bukit
berangka tahun 604 saka (682 M) ditemukan di daerah Kedukan Bukit, di tepi
Sungai Tatang, dekat Palembang.
Adapun
isi prasasti Kedukan Bukit, adalah sebagai berikut:
Pada
tahun saka 605 hari kesebelas bulan terang bulan waiseka dapunta hyang naik di
perahu mengadakan perajalanan pada hari ketujuh bulan terang. Bulan jyestha
dapunta hyang berangkat dari minanga. Tambahan beliau membawa tentara dua laksa
(20.000), dua ratus koli di perahu, yang berjalan darat seribu, tiga ratus dua
belas banyaknya datang di mukha upang, dengan senang hati, pada ghari kelima
bulan terang bulan asada, dengan lega gembira datang membuat wanua ... .
perajalanan jaya sriwijy memberikan kepuasan.
Poerbacaraka
berpendapat bahwa Minanga adalah pertemuan antara sungai Kampar Kanan dan
Kampar Kiri, sehingga beliau berpendapat bahwa ibu kota Sriwijaya adalah di
Minangkabau. Muhammad Yamin mengartikan Minanga Tanwan adalah air tawar dan
Sriwijaya ibu kotanya terletak di Palembang. Bukhori berpendapat sama dengan
Muhammad Yamin bahwa ibu kota Sriwijaya terletak di sekitar daerah
PalembangPrasasti Kedukan Bukit isinya menceritakan bahwa pada tanggal 11
Waisaka 604 (23 April 682), Raja Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang naik
perahu memimpin operasi militer. Lalu pada tanggal 7 paro terang bulan Jesta
(19 Mei) Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwan untuk kembali ke ibu kota.
Mereka bersukacita karena pulang dengan kemenangan. Pada tangga 5 Asada (16 Juni)
mereka tiba di Muka Upang (sebelah timur Palembang). Sesampai di ibu kota,
Dapunta Hyang memerintahkan pembuatan bangunan suci sebagai tanda rasa syukur.
Prasasti
Ligor A (775) ditemukan di Muangthai selatan
“Pujian
terhadap raja Sriwijaya yang di ibaratkan bagai Mnu yang memberi berkah bagi
dunia menyerupai Indra dan semua raja tetangga taat kepadanya ditulis pula
pendirian sebuah bangunan batu trisamayacahtya untuk padma, pani, sakyamuni,
dan wajrpani”.
Prasasti
Ligor B,
Pujian
bagi raja yang berhasil menaklukkan musuh-musuhnya dan merupakan wujud kembar
dewa kasta yang dengan kekuatannya disebut (sebagai dewa) Wisnu, kedua
mematahkan keangkuhan semua musuhnya (Sarwarimadawimthana). Ia adalah keturunan
dari (keluarga Syailendra) yang tersohor disebut Srimaharaja.”
Prasasti
Ligor yang ditemukan di semenanjung tanah Melayu menceritakan tentang Raja
Sriwijaya dan pembangunan trisamayacaithya untuk menyembah dewa-dewa agama
Buddha, serta menyebutkan seorang raja bernama Wisnu dengan gelar
Sarwarimadawimathana atau pembunuh musuh-musuh yang sombong tiada bersisa.
Begitu pula prasasti Nalanda yang dikeluarkan oleh Raja Dewa Paladewa. Isinya
menyebutkan tentang pendirian bangunan biara di Nalanda oleh Raja
Balaputradewa, Raja Sriwijaya yang menganut agama Buddha.Daerah kekuasaan
Sriwijaya meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaya, dan
Muangthai Selatan. Dengan menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa,
Kerajaan Sriwijaya menguasai jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan
internasional. Untuk itu penghasilan negara Sriwijaya terutama diperoleh dari
perdagangan (komoditas ekspor dan bea cukai kapal-kapal yang singgah di wilayah
Sriwijaya). Jadi, kerajaan ini lebih menitikberatkan pada bidang maritim dan
perdagangan.
Sejak
pertengahan abad ke-9, Sriwijaya diperintah oleh Dinasti Syailendra. Hal ini
dinyatakan dalam prasasti Nalanda di India, yang menguraikan permintaan Raja
Balaputradewa dari Sriwijaya kepada Raja Dewapaladewa dari Benggala untuk
mendirikan wihara di Nalanda pada tahun 860.
Disebutkan
juga dalam prasasti itu, bahwa Balaputradewa adalah putra Samaragrawira, yaitu
raja Jawa dari Dinasti Syailendra. Prasasti kota kapur (686 M) isinya tentang
cerita peperangan dan sumpah atau kutukan bagi orang-orang yang melanggar
peraturan dan kehendak penguasa. Adapun yang lebih menarik tentang isi prasasti
ini, ialah bagian terakhir yang berbunyi:
“Tahun
saka 608 hari pertama bulan terang bulan waisaka, itulah waktunya sumpah ini dipahat, pada waktu
itu tentara Sriwijayaberangkat tanah Jawa karena tidak mau tunduk kepada
Sriwijaya.”
Dari
prasasti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Sriwijaya pernah ada upaya
untuk menaklukkan Jawa. Para ahli menerangkan bahwa kerajaan di Jawa yang
ditaklukkan adalah Tarumanegara. Hubungan dengan India tidak bertahan lama,
sebab pada awal abad ke-11 Raja Rajendracola dari Kerajaan Colamandala
melakukan penyerbuan besar-besaran ke wilayah Sriwijaya, antara lain Kedah,
Aceh, Nikobar, Binanga, Melayu, dan Palembang. Berita penyerangan tersebut ada dalam
prasasti Tanjore di India Selatan. Tetapi, penyerbuan Colamandala dapat
dipukul mundur atas bantuan Raja Airlangga dari Jawa Timur. Atas jasanya ini,
Airlangga dinikahkan dengan Sanggramawijayatunggadewi, putri Raja Sriwijaya.
Kekuatan Sriwijaya mulai menurun setelah berhasil memukul mundur pasukan
Colamandala.
Menurunnya kekuatan itu dapat terlihat dari ketidakmampuannya mengawasi dan memberi perlindungan bagi pelayaran dan perdagangan yang ada di perairan Indonesia. Keadaan itu dimanfaatkan juga oleh kerajaan-kerajaan vasal (bawahan) untuk melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya, seperti yang dilakukan oleh kerajaan Malayu (Jambi). Prasasti Tanjore (1030) yang dikeluarkan oleh Rjendra berisi Tentara Colal melakukan serangan dua kali ke beberapa negeri diantaranya ke Sriwijaya, pertama tahun 1015 dan kedua 1025. Pada serangan kedua berhasil menawan rajanya yang bernama Sri Sangramwijaya Tunggawarman, setelah meminta maaf, dia ditakhtakan kembali.Sementara itu, prasasti Wirarajendra, yang dikeluarkan oleh Raja Cola (1068), berisikan bahwa pasukan Cola menyerang kembali Sriwijaya tahun 1067. Selanjutnya pada abad ke-13 dan ke-14, kebesaran Sriwijaya tidak pernah disebut-sebut lagi dalam sumber-sumber sejarah. Jadi, kapan Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan ? Menurut catatan Cina, utusan Sriwijaya terakhir datang ke Cina pada tahun 1178. Selain itu, pada catatan Chufan-chi yang ditulis oleh Chau Ju Kua tahun 1225 disebutkan bahwa Palembang (ibu kota Sriwijaya) telah menjadi negeri taklukan Malayu.
Menurunnya kekuatan itu dapat terlihat dari ketidakmampuannya mengawasi dan memberi perlindungan bagi pelayaran dan perdagangan yang ada di perairan Indonesia. Keadaan itu dimanfaatkan juga oleh kerajaan-kerajaan vasal (bawahan) untuk melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya, seperti yang dilakukan oleh kerajaan Malayu (Jambi). Prasasti Tanjore (1030) yang dikeluarkan oleh Rjendra berisi Tentara Colal melakukan serangan dua kali ke beberapa negeri diantaranya ke Sriwijaya, pertama tahun 1015 dan kedua 1025. Pada serangan kedua berhasil menawan rajanya yang bernama Sri Sangramwijaya Tunggawarman, setelah meminta maaf, dia ditakhtakan kembali.Sementara itu, prasasti Wirarajendra, yang dikeluarkan oleh Raja Cola (1068), berisikan bahwa pasukan Cola menyerang kembali Sriwijaya tahun 1067. Selanjutnya pada abad ke-13 dan ke-14, kebesaran Sriwijaya tidak pernah disebut-sebut lagi dalam sumber-sumber sejarah. Jadi, kapan Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan ? Menurut catatan Cina, utusan Sriwijaya terakhir datang ke Cina pada tahun 1178. Selain itu, pada catatan Chufan-chi yang ditulis oleh Chau Ju Kua tahun 1225 disebutkan bahwa Palembang (ibu kota Sriwijaya) telah menjadi negeri taklukan Malayu.
Kerajaan
Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada masa silam.
Kerajaan Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim yang pernah
menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional selama
berabad-abad dengan menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Setiap
pelayaran dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur atau sebaliknya harus
melewati wilayah Kerajaan Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatra, sebagian
Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan.
Keadaan ini juga yang membawa penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapal-kapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya. Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buah-buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian.
Keadaan ini juga yang membawa penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapal-kapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya. Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buah-buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian.
Prasasti
Amoghpasha (1286) berbunyi
“Pada
tahun saka 1208 .....tatkala itulah arca paduka amoghappasa lokeswara dengan
empat belas pengikutnya serta tujuh ratna permata dibawa dari bhumi Jawa ke
suwarnabhumi supaya ditegakan. Sumber sejarah lain mengenai Kerajaan
Sriwijaya dapat dilihat dari berita Cina. Berita itu datang dari seorang
pendeta yang bernama I-Tsing yang pada tahun 671 berdiam di Sriwijaya untuk
belajar tata bahasa Sanskerta sebagai persiapan kunjungannya ke India. I-Tsing
menyebutkan bahwa di negeri Sriwijaya dikelilingi oleh benteng. Di negeri ini
ada seribu orang pendeta yang belajar agama Buddha.Seperi halnya di India, para
pendeta Cina yang mau belajar agama ke India dianjurkan untuk belajar terlebih
dahulu di Sriwijaya selama satu sampai dua tahun. Disebutkan juga bahwa para
pendeta yang belajar agama Buddha di Sriwijaya dibimbing oleh seorang guru yang
sangat terkenal bernama Sakyakirti. Berdasarkan berita I-Tsing dapat
disimpulkan bahwa kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-7 M merupakan pusat kegiatan
ilmiah agama Buddha di Asia Tenggara.Prasasti Nalanda berisi tentang pembebasan
tanah untuk pendirian sebuah biara atas permintaan raja Swarnadiva,
Balaputradewa, cucu raja Jawa berjuluk Wirawairimathana, yang berputra
Samaargrawira yang menikahi putri Raja Dharmasetu. Dari prasasti-prasasti
tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa raja sangat memperhatikan dunia
pendidikan dalam memajukan dan mengembangkan kerajaannya. Pendidikan yang
berbasis pengajaran agama Buddha disatu sisi telah membawa corak kehidupan yang
khas pada masyarakat Sriwijaya
Kerajaan
Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di Asia Tenggara. Hal itu dibuktikan
dengan banyaknya biksu yang terdapat di Sriwijaya beserta pusat pendidikannya.
Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan, bahwa penduduk yang beragama
Hindu terdapat pula di Sriwijaya.
Prasasti
Talang Tuo isinya menyebutkan tentang pembuatan kebun Sriksetra atas perintah
Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai suatu pranidhana
(na ar). Di samping itu, terdapat doa dan harapan yang menunjukkan sifat agama
Buddha. Sebaliknya, prasasti Karang Berahi, prasasti Telaga Batu, dan prasasti
Palas Pasemah umumnya berisi doa, kutukan, dan ancaman terhadap orang yang
melakukan kejahatan dan tidak taat pada peraturan Raja Sriwijaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar