Langkah-Langkah
Dalam Penelitian Sejarah
Kuntowijoyo
dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, membagi langkah-langkah penelitian
sejarah ke dalam lima tahapan, yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan
sumber, (3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi:
analisis dan sintesis, dan (5) penulisan.
1. Pemilihan topik
Sebelum melakukan proses penelitian sejarah, seorang sejarawan perlu melakukan
pemilihan topik penelitian. Topik yang dipilih haruslah bernilai. Artinya,
dalam pemilihan topik penelitian mutlak terdapat unsure-unsur keunikan
peristiwa, tidak bersifat majemuk, dan tidak bersifat multidimensional. Topic
tersebut juga harus bersifat orisinil. Artinya topic yang diteliti merupakan
sebuah upaya pembuktian baru atau bias juga merupakan interpretasi baru yang
terkait dengan perkembangan historiografi dan teori metodologi ilmu sejarah.
Topic yang dipilih juga harus praktis. Artinya sumber-sumber sejarah yang
dibutuhkan dalam penelitian haruslah mudah untuk dijangkau, memiliki
signifikansi antara fakta dan argumentasi, serta memiliki validitas sumber,
fakta, dan argumentasi. Terakhir, topic yang dipilih juga harus memiliki
kesatuan ide antara nilai, orisinalitas, dan kepraktisan dalam proses pemilihan
topik.
Dalam pemilihan topik, seorang sejarawan harus
memperhatikan kedekatan emosional dan intelektualnya terhadap topik yang
dipilih. Kedekatan emosional terlihat dari sikap peneliti dalam melakukan
penelitian sejarah. Apabila seorang penelitimelakukan proses penelitian
sejarahnya dengan senang hati, tentu saja kemungkinan untuk mendapatkan hasil
penelitian yang maksimal akan lebih besar dibandingkan dengan seorang peneliti
yang melakukan penelitiannya dengan setengah hati. Selain kedekatan emosional,
kedekatan intelektual jugapatut diperhatikan. Kedekatan intelektual akan
terlihat dari kemempuan intelektual peneliti dalam menganalisis objek sejarah
dengan memanfaatkan sebanyak mungkin teori-teori social yang ada.
Ketika memulai pemilihan topik penelitian, seorang sejarawan pemula dapat
berpegang pada empat perangkat pertanyaan. Pertama, perangkat pertanyaan yang
bersifat geografis (di mana?). Kedua, perangkat pertanyaan yang bersifat
biografis (siapa?). ketiga, perangkat pertanyaan yang bersifat kronologis
(kapan/bagaimana?). Keempat, perangkat pertanyaan yang bersifat fungsional atau
okupasional (apa? Atau lingkungan manusia mana yang paling menarik?)
Keempat perangkat pertanyaan ini akan mengarahkan sejarawan itu pada
batas-batas penelitian sejarahnya. Hal ini dapat dilihat dari jawaban atas
keempat perangkat pertanyaan tersebut. Misalnya, jawaban untuk pertanyaan
pertama adalah Tanah Batak. Jawaban untuk pertanyaan kedua adalah
Sisingamangaraja XII. Jawaban untuk pertanyaan ketiga adalah pada masa Kolonial
Belanda. Jawaban untuk pertanyaan keempat adalah perlawanan. Dari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut, terlihat bahwa sejarawan menaruh perhatian pada
perlawanan Sisisngamaraja XII di Tanah Batak pada masa colonial Belanda.
Topik ini dapat dipersempit dan diperluas. Pengurangan atau perluasan ruang
lingkup objek penelitian sejarah tergantung pada sejarawan sendiri. Dalam
melakukan hal ini, tentu sejarawan harus memperhatikan waktu yang tersedia
baginya dan sumber penelitian yang tersedia.
Untuk dapat memilih topic dengan baik, ada beberapa kesalahan yang harus
dihindari sebagai berikut.
1. Kesalahan Baconian, yaitu
pendapat bahwa tanpa teori, konsep, ide, paradigma, praduga, hipotesis, atau
generalisasi yang lain, penelitian sejarah dapat dilakukan.
2. Kesalahan terlalu banyak
pertanyaan. Dalam melakukan suatu penelitian, beberapa hal tidak boleh
ditanyakan sekaligus. Pertanyaan yang terlalu banyak membuat fokus
pertanyaan akan hilang. Akibatnya, sejarah yang ditulis hanya akan mengemukakan
kebenaran yang sudah diketahui.
3. Kesalahan pertanyaan yang
bersifat dikotomi, yaitu pandangan sejarah yang hitam putih atau seolah-olah sejarah
hanya memiliki dua kemungkinan. Dengan ini, seakan-akan sejarawan bertugas
mengadili, padahal seorang sejarawan bertugas untuk melukiskan peristiwa
sebagaimana hal itu benar-benar terjadi.
2.
Heuristik
Heuristik berasal dari kata Yunani, heuriskein, artinya
menemukan. Heuristik, maksudnya adalah tahap untuk mencari, menemukan, dan
mengumpulkan sumber-sumber berbagai data agar dapat mengetahui segala bentuk
peristiwa atau kejadian sejarah masa lampau yang relevan dengan topik/judul
penelitian.
Untuk melacak sumber tersebut, sejarawan harus dapat mencari
di berbagai dokumen baik melalui metode kepustakaan atau arsip nasional.
Sejarawan dapat juga mengunjungi situs sejarah atau melakukan wawancara untuk
melengkapi data sehingga diperoleh data yang baik dan lengkap, serta dapat
menunjang terwujudnya sejarah yang mendekati kebenaran. Masa lampau yang begitu
banyak periode dan banyak bagian-bagiannya (seperti politik, ekonomi, sosial,
dan budaya) memiliki sumber data yang juga beraneka ragam sehingga perlu adanya
klasifikasi data dari banyaknya sumber tersebut.
Dokumen-dokumen yang berhasil dihimpun merupakan data yang
sangat berharga Dokumen dapat menjadi dasar untuk menelusuri
peristiwa-peristiwa sejarah yang telah terjadi pada masa lampau. Menurut sifatnya
ada dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber
yang dibuat pada saat peristiwa terjadi, seperti dokumen laporan kolonial.
Sumber primer dibuat oleh tangan pertama, sementara sumber sekunder merupakan
sumber yang menggunakan sumber primer sebagai sumber utamanya. Jadi, dibuat
oleh tangan atau pihak kedua. Contohnya, buku, skripsi, dan tesis.
Jika kita mendapatkan sumber tertulis, kita akan mendapatkan
sumber tertulis sezaman dan setempat yang memiliki kadar kebenaran yang relatif
tinggi, serta sumber tertulis tidak sezaman dan tidak setempat yang memerlukan
kejelian para penelitinya. Dari sumber yang ditemukan itu, sejarawan melakukan
penelitian. Tanpa adanya sumber sejarah, sejarawan akan mengalami kesulitan
menemukan jejak-jejak sejarah dalam kehidupan manusia. Untuk sumber lisan,
pemilihan sumber didasarkan pada pelaku atau saksi mata suatu kejadian.
Narasumber lisan yang hanya mendengar atau tidak hidup sezaman dengan peristiwa
tidak bisa dijadikan narasumber lisan.
Tampak bahwa heuristik sejarah tidak berbeda hakikatnya
dengan kegiatan bibliografis yang lain sejauh berkaitan dengan buku. Akan
tetapi sejarawan tidak hanya bekerja dengan buku-buku seperti itu, ia juga
harus menggunakan materi yang tidak terdapat dalam buku-buku itu, seperti
bahan-bahan arkeologis, epigrafis, numismatis, dokumen resmi, dan
dokumen-dokumen pribadi.
Dari dokumen-dokumen ini, tentu sejarawan lebih menaruh
minat terhadap dokumen yang dianggapnya penting. Untuk mengetahui dokumen mana
yang lebih penting seorang sejarawan harus berpegang pada empat aturan umum
berikut.
1.
Semakin dekat waktu pembuatan dokumen dengan peristiwa yang
direkamnya, maka semakin baik dokumen tersebut bagi tujuan sejarah. Hal itu
karena semakin lama proses observasi suatu peristiwa dilakukan, semakin banyak
pula factor yang akn mempengaruhi tingkat kepercayaan dari hasil observasi
tersebut.
2.
Semakin serius pengarang membuat rekaman peristiwa,
dokumennya akan semakin dapat dipercaya sebagai sebuah sumber sejarah.
Penyebabnya adalah dalam pembuatan rekaman peristiwa, setiap pengarang
memmpunyai berbagai macam tujuan, entah itu untuk arsip pribadi atau alat bantu
bagi ingatan seseorang, atau sebagai alat propagandayang berisi rekaman
peristiwa secara berlebih-lebihan.
3.
Semakin sedikit segmen yang pembaca yang dirancang untuk
sebuah dokumen (misalnya, semakin besar sifat rahasianya), maka semakin besar
kemungkinannya bahwa dokumen itu bersifat murni.
4.
Semakin tinggi tingkat keahlian si penyusun laporan pada
bidang yang dilaporkannya, maka laporan itu akan semakin dapat dipercaya.
Agar
pengumpulan sumber informasi sejarah dapat berlangsung dengan baik, ada
beberapa kesalahan yang harus dihindari seperti berikut.
1.
Kesalahan holisme. Kesalahan holisme adalah kesalahan yang terjadi akibat
sejarawan memilih satu bagian yang penting dan menganggap pemilihan bagian
tersebut dapat mewakili keseluruhannya. Misalnya, untuk sejarah revolusi, orang
membuat generalisasi seolah-olah apa yang terjadi di Medan juga berlaku untuk
daerah lain. Hal ini jelas salah karena latar belakang medan pada proklamasi
berbeda dengan Jawa, Sulawesi, Kalimantan, maupun Bali.
2.
Kesalahan pragmatis. Kesalahan pragmatis adalah kesalahan yang terjadi karena
sumber dipilih untuk tujuan tertentu. Pengumpulan sumber seprti ini sering
tidak utuh. Misalnya dalam buku Base Of
Conflict in Rural Java oleh Margo L. Lyion, untuk membenarkan aksinya, PKI
mengeluarkan daftar pemusatan kepemilikan tanah. Fakta ini menyembunyikan
kenyataan-kenyataan yang sebenarnya
3.
Kesalahan od hominem. Kesalahan od hominem adalah kesalahan ini muncul akibat
dalam pengumpulan sumber sejarah peneliti memilih orang, otoritas, profesi,
pangkat, atau jabatan tertentu. Untuk menghindarinya, perlu dilakukan
pengumpulan data dari tiga sumber yaitu, pihak yang berkaitan dengan peristiwa,
pihak yang saling bertengtangan, dan saksi mata yang tidak terlibat sama
sekali.
3. Verifikasi
Verifikasi
adalah penilaian terhadap sumber-sumber sejarah. Verifikasi dalam sejarah
memiliki arti pemeriksaan terhadap kebenaran laporan tentang suatu peristiwa
sejarah. Penilaian terhadap sumber-sumber sejarah menyangkut aspek ekstern dan
intern. Aspek ekstern mempersoalkan apakah sumber itu asli atau palsu sehingga
sejarawan harus mampu menguji tentang keakuratan dokumen sejarah tersebut,
misalnya, waktu pembuatan dokumen, bahan, atau materi dokumen. Aspek intern
mempersoalkan apakah isi yang terdapat dalam sumber itu dapat memberikan
informasi yang diperlukan. Dalam hal ini, aspek intern berupa proses analisis
terhadap suatu dokumen.
Aspek
ekstern harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut.
a.
Apakah sumber itu merupakan sumber yang dikehendaki (autentitas)?
b.
Apakah sumber itu asli atau turunan (orisinalitas)?
c.
Apakah sumber itu masih utuh atau sudah diubah (soal integritas)?
Setelah
ada kepastian bahwa sumber itu merupakan sumber yang benar diperlukan dalam
bentuk asli dan masih utuh, maka dilakukan kritik intern. Kritik intern
dilakukan untuk membuktikan bahwa informasi yang terkandung di dalam sumber itu
dapat dipercaya, dengan penilaian intrinsik terhadap sumber dan dengan membandingkan
kesaksiankesaksian berbagai sumber.
Langkah
pertama dalam penelitian intrinsik adalah menentukan sifat sumber itu (apakah
resmi/formal atau tidak resmi/informal). Dalam penelitian sejarah, sumber tidak
resmi/informal dinilai lebih berharga daripada sumber resmi sebab sumber tidak
resmi bukan dimaksudkan untuk dibaca orang banyak (untuk kalangan bebas)
sehingga isinya bersifat apa adanya, terus terang, tidak banyak yang
disembunyikan, dan objektif.
Langkah
kedua dalam penilaian intrinsik adalah menyoroti penulis sumber tersebut sebab
dia yang memberikan informasi yang dibutuhkan. Pembuatan sumber harus
dipastikan bahwa kesaksiannya dapat dipercaya. Untuk itu, harus mampu
memberikan kesaksian yang benar dan harus dapat menjelaskan mengapa ia menutupi
(merahasiakan) suatu peristiwa, atau sebaliknya melebih-lebihkan karena ia
berkepentingan di dalamnya.
Langkah ketiga dalam penelitian intrinsik adalah
membandingkan kesaksian dari berbagai sumber dengan menjajarkan kesaksian para
saksi yang tidak berhubungan satu dan yang lain (independent witness)
sehingga informasi yang diperoleh objektif. Contohnya adalah terjadinya
peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
Ada perdebatan tentang siapa tokoh penggagas Serangan Umum itu sebenarnya. Ada
tiga penafsiran atau pendapat mengenai hal ini.
a.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebab
beliau adalah penguasa kerajaan yang
berwenang mengadakan
serangan.
b.
Jenderal Soedirman yang berhasil
menghimpun kembali kekuatan TNI yang berwenang mengadakan Serangan Umum.
c.
Letkol. Soeharto sebagai Komandan
Brigade X kota Yogyakarta yang berinisiatif melancarkan Serangan Umum untuk
membuktikan kekuatan TNI.
Menurut strategi dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, kita
mengetahui bahwa sektor barat di bawah pimpinan Vence Sumual dan Letkol
Soeharto, sektor utara di bawah pimpinan Mayor Kusno, sektor selatan dan timur
di bawah pimpinan Mayor Sarjono, serta sektor kota di bawah pimpinan Letnan
Masduki dan Amir Murtono. Serangan Umum 1 Maret mempunyai arti penting, yaitu
mendukung perjuangan diplomasi, meninggikan moral rakyat dan TNI yang sedang
bergerilya, menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada dan
mampu untuk melawan penjajah, serta untuk mematahkan moral Belanda.
Sumber-sumber
yang diakui kebenarannya lewat verifikasi atau kritik, baik intern maupun
ekstern, menjadi fakta. Fakta adalah keterangan tentang sumber yang dianggap
benar oleh sejarawan atau peneliti sejarah. Fakta bisa saja diartikan sebagai
sumbersumber yang terpilih.
Agar objektivitas sejarah dapat disajikan oleh sejarawan
dengan baik, ada beberapa kesalahan yang harus mereka hindari sebagai berikut.
1.
Kesalahan pars pro toto. Kesalahan
ini terjadi karena ada anggapan bahwa bukti yang hanya berlaku untuk
keseluruhan. Misalnya dalam karya “Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini
mengeluh bahwa wanita Jawa selalu dipingit. Keluhan in sebenarnya hanya
terbukti untuk anak-anak gadis bangsawan. Hal ini tidak dialami oleh anak-anak
gadis desa dan pesantren.
2.
Kesalahan totem pro porte. Kesalahan ini adalah kebalikan dari kesalahan pars pro toto. Sejarawan mengemukakan
keseluruhannya, padahal yang dimaksudkan adalah bukti untuk sebagian. Misalnya,
semua orang yang bersekolah di negeri Belanda digambarkan seolah-olah menjadi
orang barat yang berpikir dan berbicara seperti orang Belanda. Padahal
Sosrokartono kemudian menjadi mistikus.
3. Kesalahan
menganggap pendapat umum sebagai fakta. Hal ini sering terjadi. Misalnya, orang
Cina dianggap pandai berdagang. Anggapan ini mendorong berdirinya
koperasi-koperasi Syariat Islam padahal ada juga orang Cian yang menjadi
pembantu rumah tangga.
4. Interpretasi
Interpretasi adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkai
fakta tersebut menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Interpretasi
dalam sejarah dapat juga diartikan sebagai penafsiran suatu peristiwa atau
memberikan pandangan teoritis terhadap suatu peristiwa. Sejarah sebagai suatu
peristiwa dapat diungkap kembali oleh para sejarawan melalui berbagai sumber,
baik berbentuk data, dokumen perpustakaan, buku, berkunjung ke situs-situs
sejarah atau wawancara, sehingga dapat terkumpul dan mendukung dalam proses
interpretasi. Dengan demikian, setelah kritik selesai maka langkah berikutnya
adalah melakukan interpretasi atau penafsiran dan analisis terhadap data yang
diperoleh dari berbagai sumber.
Interpretasi dalam sejarah adalah penafsiran terhadap suatu
peristiwa, fakta sejarah, dan merangkai suatu fakta dalam kesatuan yang masuk
akal. Penafsiran fakta harus bersifat logis terhadap keseluruhan konteks
peristiwa sehingga berbagai fakta yang lepas satu sama lainnya dapat disusun
dan dihu-bungkan menjadi satu kesatuan yang masuk akal.
Bagi kalangan akademis, agar dapat menginterpretasi fakta
dengan kejelasan yang objektif, harus dihindari penafsiran yang semena-mena
karena biasanya cenderung bersifat subjektif. Selain itu, interpretasi harus bersifat
deskriptif sehingga para akademisi juga dituntut untuk mencari landasan
interpretasi yang mereka gunakan. Proses interpretasi juga harus bersifat
selektif sebab tidak mungkin semua fakta dimasukkan ke dalam cerita sejarah,
sehingga harus dipilih yang relevan dengan topik yang ada dan mendukung
kebenaran sejarah.
Ada dua macam interpretasi, yakni analisis dan sintesis.
Analisis berarti menguraikan. Dalam analisis, beberapa kemungkinan yang
dikandung oleh suatu sumber sejarah dicoba untuk dilihat. Misalnya dalam suatu
dokumen yang ditemukan ada suatu daftar anggota wajib militer suatu Negara.
Dari daftar tersebut, terlihat sejumlah nama yang menunjukkan kekhasan
daerah-daerah tertentu yang berbeda-beda. Dari daftar tersebut, dapat
dianalisis bahwa anggota wajib militer itu terdiri dari beraneka ragam suku
bangsa.
Sementara itu, sintetis berarti menyatukan. Dalam sintetis, beberapa data yang
ada dikelompokkan menjadi satu dengan generalisasi konseptual. Misalnya, ada
data tentang pertempuran, rapat-rapat, mobilisasi massa, penggantian pejabat,
pembunuhan, orang-orang yang mengungsi, penurunan dan pengibaran bendera.
Peng-sintetis-an data-data tersebut menghasilkan fakta bahwa telah terjadi
revolusi.
Untuk menghasilkan interpretasi yang baik, ada beberapa hal yang harus dimiliki
oleh seorang sejarawan, seperti keterampilan dalam membaca sumber. Keterampilan
ini mencakup keterampilan dalam menafsirkan makna bahasa yang digunakan pada
sumber khususnya sumber tertulis. Misalnya, dokumen yang digunakan berbahasa
Jawa Kuno atau berbahasa Belanda. Untuk dapat menginterpretasikan isi dokumen
itu, seorang sejarawan harus mengetahui struktur bahasa Jawa Kuno dan struktur
bahasa Belanda karena struktur bahasa pada masing-masing bahasa mempunyai karakter
tersendiri.
5. Historiografi
Historiografi adalah penulisan sejarah. Historiografi
merupakan tahap terakhir dari kegiatan penelitian untuk penulisan sejarah.
Menulis kisah sejarah bukanlah sekadar menyusun dan merangkai fakta-fakta hasil
penelitian, melainkan juga menyampaikan suatu pikiran melalui interpretasi
sejarah berdasarkan fakta hasil penelitian. Untuk itu, menulis sejarah
memerlukan kecakapan dan kemahiran. Historiografi merupakan rekaman tentang
segala sesuatu yang dicatat sebagai bahan pelajaran tentang perilaku yang baik.
Sesudah menentukan judul, mengumpulkan bahan-bahan atau sumber serta melakukan
kritik dan seleksi, maka mulailah menuliskan kisah sejarah. Ada tiga bentuk
penulisan sejarah berdasarkan ruang dan waktu.
a. Penulisan sejarah tradisional
Kebanyakan karya ini kuat dalam hal genealogi, tetapi tidak
kuat dalam hal kronologi dan detail biografis. Tekanannya penggunaan sejarah
sebagai bahan pengajaran agama. Adanya kingship
(konsep mengenai raja), pertimbangan kosmologis, dan antropologis lebih
diutamakan daripada keterangan dari sebab akibat.
b. Penulisan sejarah kolonial
Penulisan ini memiliki ciri nederlandosentris (eropasentris), tekanannya pada aspek politik
dan ekonomi serta bersifat institusional.
c. Penulisan sejarah nasional
Penulisannya menggunakan metode ilmiah secara terampil dan
bertujuan untuk kepentingan nasionalisme.
Dalam penulisan sejarah, fakta-fakta sejarah harus diseleksi dan disusun dengan
baik. Dalam menyeleksi fakta sejarah, masalah relevansi harus mendapat
perhatian. Artinya dalam penyeleksian, fakta-fakta sejarah yang akan digunakan
adalah fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan topic penelitian. Ada empat
aspek yang menjadi ukuran bagi relevansi. Keempat aspek itu adalah aspek biografis,
aspek geografis, aspek kronologis, dan aspek fungsional. Misalnya, untuk topic
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, aspek biografisnya menyangkut nama
tokoh-tokoh atau kelompok orang, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, BPUPKI, dan
PPKI. Aspek geografisnya, antara lain menyangkut nama pulau dan kota dimana
peristiwa itu terjadi, yakni pulau Jawa, Jakarta, Rengasdengklok. Aspek
kronologisnya menyangkut periode-periode waktu pada proklamasi. Aspek
fungsional, antara lain menyangkut jabatan-jabatan orang-oarang yang terlibat
dalam masalah itu.
Setelah fakta-fakta sejarah
diseleksi, fakta-fakta tersebut disusun. Penyusunan fakta sejarah yang paling
masuk akal adalah penyusunan secara kronologis dalam periode-periode waktu.
Selain itu, penyusunan fakta sejarah dapat dilakukan berdasarkan sudut pandang
geografis tempat sejarah terjadi dan berdasarkan tokoh pelaku. Baik orang
maupun kelompok orang. Untuk menghindari pengulangan kisah peristiwa-peristiwa
yabg sama, cara penyusunan yang terakhir tetap harus diikuti dengan penyusunan
kronologis.
Hasil penelitian sejarah dapat ditulis dalam suatu bentuk
tulisan yang terdiri dari tiga bagian besar. Pertama, pengantar. Dalam
pengantar, dikemukakan permasalahan, latar belakang, historiografi dan pendapat
penulis tentang tulisan orang lain, pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab
melalui penelitian, teori da konsep yang digunakan, dan sumber-sumber sejarah.
Kedua, penelitian. Dalam bagian ini, disajikan hasil penelitian penulisan.
Pertanggungjawaban penulis diperlihatkan dengan menampilkan catatan dan
lampiran karena setiap data yang ditulis harus disertai dengan data yang
mendukung. Ketiga, kesimpulan. Dalam kesimpulan dikemukakan generalisasi dari
uraian yang disajikan pada bagian sebelumnya. Dalam generalisasi ini, akan
tampak apakah penulis melanjutkan, menerima, member catatan, atau menolak
generalisasi yang sudah ada.
Dalam penulisan hasil penelitian sejarah, ada beberapa kesalahan yang harus
dihindari. Kesalahan itu antara lain sebagai berikut.
1. Kesalahan narasi. Kesalahan narasi artinya kesalahan yang terjadi
dalam penyajian, yang meliputi kesalahan periodisasi, kesalahan didaktis, dan
kesalahan pembahasan. Kesalahan periodisasi terjadi ketika sejarawan memandang
periode sebagai waktu yang pasti. Misalnya, zaman kuno Indonesia tidak berakhir
pada tahun 1499, walaupun dikatakan demikian karena jauh sebelumnya sudah
berdiri kerajaan Islam. Kesalahan didaktis terjadi ketika sejarawan menggunakan
historiografi untuk mengajarkan suatu nilai, padahal penulisan sejarah sendiri
harus murni berbentuk ilmiah. Kesalahan pembahasan terjadi karena pembahasan
disajikan dengan bahasa yang emosional dan nonsuquitur (kalimat yang dipakai
bukan merupakan konsekuensi kalimat sebelumnya).
2. Kesalahan argumen. Kesalahan argumen terjadi ketika sejarawan
menguraikan gagasannya. Kesalahan ini dapat berupa kesalahan konseptual dan
dapat pula berupa kesalahan subtansial. Kesalahan konseptual dapat terjadi jika
sejarawan mengguankan istilah yang mempunyai dua atau lebih makan (ambigu).
Akibatnya, pembaca dapat terkecoh. Misalnya, kata “maju” dapat berarti progress
dan dapat pula berarti kelonggaran moral masyarakat. Kesalahan subtantif
terjadi apabila sejarawan mengemukakan argument yang tida relavan atau tidak rasional.
Misalnya, argument yang berbunyi “demi Tuhan, saya tidak melakukan tindakan
korupsi”. Argument seprti ini membuat pendengar tidak berani lagi
memprtanyakannya.
3. Kesalahan generalisasi terbagi terbagi menjadi dua yaitu generalisasi
yang tudak representatif dan generalisasi sebagai kepastian. generalisasi
yang tudak representative, misalnya ketika terlihat ketika seorang sejarawan
yang berbicara tentang Yogyakarta dimana sultannya menerima proklamasi.
Sejarawan tersebut menyimpulkan bahwa semua penguasa tradisional mendukung
proklamasi. Generalisasi sebagai kepastian melihat bahwa generalisasi sejarah
adalah hokum universal yang berlaku disemua tempat dan waktu. Misalnya,
terlihat ketika setelah mempelajari Peristiwa
Tiga Daerah, seorang sejarawan menyimpulkan bahwa penguasa-penguasa
colonial pasti bertindak sewenang-wenang terhadap orang kecil. Dalam hal ini,
terdapat kesalahan karena kesimpulannya itu belum tentu terjadi di tempat lain.
Sejarawan yang baik adalah sejarawan yang memandang dan meneliti peristiwa
melalui sudut pandang yang objektif. Ia menempatkan kebenaran peristiwa sebagai
suatu hal yang utama disbanding hal lainnya.
Historiografi Indonesia
Pengertian Historiografi
Historigrafi
terbentuk dari dua akar kata yaitu history (sejarah) dan graph
(tulisan). Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah, baik
itu yang bersifat ilmiah (problem oriented) maupun yang tidak bersifat
ilmiah (no problem oriented). Problem oriented artinya karya
sejarah ditulis bersifat ilmiah dan berorientasi kepada pemecahan masalah (problem
solving), yang tentu saja penulisannya menggunakan seperangkat metode
penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan no problem oriented adalah
karya tulis sejarah yang ditulis tidak berorientasi kepada pemecahan masalah
dan ditulis secara naratif, juga tidak menggunakan metode penelitian (Jayusman,
2012).Secara lebih luas, Louis Gottschalk dalam (Dasuki, 2003, hal. 338)
menyebutkan arti historiografi sebagai berikut:
- Historiografi merupakan bentuk publikasi, baik dalam bentuk tulisan maupun secara lisan, yang sengaja memberi pertelaan mengenai suatu peristiwa atau kombinasi peristiwa-peristiwa pada masa lampau
- Historiografi diartikan sebagai hasil karya berupa tulisan atau bacaan mengenai sejarah yang meliputi juga sejarah lisan
- Historiografi adalah proses penulisan sejarah sebagai penerapan aspek serba interpretatif dalam metode sejarah untuk menyusun sintetis sejarah yang dilandasi oleh penelitian yang seksama melalui heuristik, kritik terhadap sumber-sumber sejarah dan seleksi terhadap fakta-fakta sejarah.
- Historiografi merupakan kegiatan dalam kerja keilmuan di bidang sejarah yang menghasilkan tulisan-tulisan sebagai kategori pemikiran teoritis dan metodologis mengenai masalah-masalah dalam pene
Karya sejarah
Indonesia baik dari masa lampau sampai masa sekarang (dikenal dengan nama
sejarah kontemporer) telah banyak ditulis, baik oleh sejarawan atau pemerhati
sejarah bangsa kita sendiri, maupun bangsa asing. Dari berbagai penulisan
sejarah Indonesia (historiografi Indonesia) dari berbagai zaman/masa, baik
ditulis oleh bangsa maupun bahasa asing; maka penulisan sejarah Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yakni:
a. historiografi tradisional
b. Histotiografi Kolonial.
c. Historiografi Nasional.
d. Hotoriografi Modern
a. Penulisan Sejarah Tradisional (Historiografi Tradisional)
Penulisan sejarah
tradisional adalah penulisan sejarah yang dimulai dari zaman Hindu sampai masuk
dan berkembangnya Islam di Indonesia. Penulisan sejarah pada zaman ini berpusat
pada masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa, bersifat
istanasentris, yang mengutamakan keinginan dan kepentingan raja. Penulisan
sejarah di zaman Hindu-Buddha pada umumnya ditulis diprasastikan dengan tujuan
agar generasi penerus dapat mengetahui peristiwa di zaman kerajaan pada masa
dulu, di mana seorang raja memerintah.Dalam historiografi tradisional
terjalinlah dengan erat unsur-unsur sastra, sebagai karya imajinatif dan
mitologi, sebagai pandangan hidup yang dikisahkan sebagai uraian peristiwa pada
masa lampau, seperti tercermin dalam babad atau hikayat. Contoh-contoh
historiografi tradisional di antaranya ialah sejarah Melayu, hikayat raja-raja
Pasai, hikayat Aceh, Babad Tanah Jawi, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad
Kartasura, dan masih banyak lagi.
Adapun
ciri-ciri dari historiografi tradisional adalah sebagai berikut.
1.
Religio
sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau keluarga raja
(keluarga istana), maka sering juga disebut istana sentris atau keluarga
sentris atau dinasti sentris.
2.
Bersifat
feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum
bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya. Historiografi tersebut tidak
memuat riwayat kehidupan rakyat, tidak membicarakan segi-segi sosial dan
ekonomi dari kehidupan rakyat.
3.
Religio
magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang gaib.
4.
Tidak
begitu membedakan hal-hal yang khayal dan yang nyata.
5.
Tujuan
penulisan sejarah tradisional untuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja,
dan nama raja, serta wibawa raja supaya raja tetap dihormati, tetap dipatuhi,
tetap dijunjung tinggi. Oleh karena itu, banyak mitos bahwa raja sangat sakti,
raja sebagai penjelmaan/titisan dewa, apa yang dikatakan raja serba benar sehingga
ada ungkapan "sadba pandita ratu datan kena wowawali" (apa yang
diucapkan raja tidak boleh berubah, sebab raja segalanya). Dalam konsep
kepercayaan Hindu, raja adalah "mandataris dewa" sehingga segala
ucapan dan tindakannya adalah benar.
6.
Bersifat
regio-sentris (kedaerahan), maka historiografi tradisional banyak dipengaruhi
daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di daerah
tersebut.
7.
Raja
atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma (bertuah, sakti).
b. Historiografi Kolonial
Berbeda
dengan historiografi tradisional, historiografi kolonial merupakan penulisan
sejarah yang membahas masalah penjajahan Belanda atas Bangsa Indonesia.
Penulisan tersebut dilakukan oleh orang-orang Belanda dan banyak di antara
penulisnya yang tidak pernah melihat Indonesia. Sumber-sumber yang dipergunakan
berasal dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta (Batavia); pada
umumnya tidak menggunakan atau mengabaikan sumber-sumber Indonesia. Sesuai
dengan namanya, yaitu historiografi kolonial, maka sebenarnya kuranglah tepat
bila disebut penulisan sejarah Indonesia. Lebih tepat disebut sejarah Bangsa
Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Mengapa demikian? Hal ini tidaklah
mengherankan, sebab fokus pembicaraan adalah Bangsa Belanda, bukanlah kehidupan
rakyat atau kiprah Bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda. Itulah
sebabnya, sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentris atau
Belanda sentris. Yang diuraikan atau dibentangkan secara panjang lebar adalah
aktivitas Bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni
(orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam
menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. Aktivitas rakyat tanah
jajahan (rakyat Indonesia) diabaikan sama sekali.,Contoh historigrafi kolonial,
antara lain sebagai berikut.
1.
Indonesian
Trade and Society karangan Y.C. Van Leur.
2.
Indonesian
Sociological Studies karangan Schrieke.
3.
Indonesian
Society in Transition karangan Wertheim.
Sesudah
Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945, maka sejak saat itu
ada kegiatan untuk mengubah penulisan sejarah Indonesia sentris. Artinya,
Bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia menjadi fokus perhatian, sasaran yang
harus diungkap, sesuai dengan kondisi yang ada, sebab yang dimaksud dengan
sejarah Indonesia adalah sejarah yang mengungkapkan kehidupan bangsa dan rakyat
Indonesia dalam segala aktivitasnya, baik politik, ekonomi, sosial maupun
budaya. Dengan demikian, maka muncul historiografi nasional yang memiliki
sifat-sifat atau ciri-ciri sebagai berikut.
1.
Mengingat
adanya character and nation-building.
2.
Indonesia
sentris.
3.
Sesuai
dengan pandangan hidup Bangsa Indonesia.
4.
Disusun
oleh orang-orang atau penulis-penulis Indonesia sendiri, mereka yang memahami
dan menjiwai, dengan tidak meninggalkan syarat-syarat ilmiah.
Contoh
historiografi nasional, antara lain sebagai berikut.
1.
Sejarah
Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, editor Sartono
Kartodirdjo.
2.
Sejarah
Nasional Indonesia, Jilid I sampai dengan VI, editor Sartono Kartodirdjo.
3.
Peranan
Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara, karya R. Moh. Ali.
4.
Sekitar
Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid I sampai dengan XI, karya A.H. Nasution.
Pendekatan
ilmu-ilmu sosial dalam kajian sejarah dikaitkan dengan ketidakpuasan para
sejarawan sendiri dengan bentuk-bentuk historiografi lama yang ruang lingkupnya
terbatas. Historiografi baru membuka ruang cakupan yang lebih luas. Untuk itu,
diperlukan penyempurnaan metodologi, yaitu penggunaan konsep-konsep ilmu sosial
dalam analisis-analisisnya. Sehubungan dengan ini, maka lebih jelas dibedakan
antara sejarah lama (the old history) dan sejarah baru (the new history),
seperti di bawah ini.
a.
Sejarah Lama (The Old History):
1.
Disebut
sejarah konvensional; sejarah tradisional.
2.
Mono
dimensional.
3.
Pemaparan
deskriptif-naratif.
4.
Ruang
cakup terbatas.
5.
Tema
terbatas (sejarah politik lama atau sejarah ekonomi lama).
6.
Para
pelaku sejarah terbatas pada raja-raja, orang-orang besar, pahlawan atau
jenderal.
7.
Tanpa
pendekatan ilmu-ilmu sosial.
b.
Sejarah Baru (The New History):
1.
Disebut
sejarah baru, sejarah ilmiah (scientific history atau social scientific
history); sejarah total (total history).
2.
Multi
dimensional.
3.
Para
pelaku sejarah luas dan beragam, segala lapisan masyarakat (vertikal ataupun
horisontal; top down atau bottom up).
4.
Ruang
cakup luas; segala aspek pengalaman dan kehidupan manusia masa lampau.
5.
Tema
luas dan beragam, sejarah politik baru, sejarah ekonomi baru, sejarah sosial, sejarah
agraria (sejarah petani, sejarah pedesaan), sejarah kebudayaan, sejarah
pendidikan, sejarah intelektual, sejarah mentalitas, sejarah psikologi, sejarah
lokal, sejarah etnis.
6.
Pemaparan
analitis-kritis.
7.
Menggunakan
pendekatan interdisiplin ilmu sosial (politikologi, ekonomi, sosiologi,
antropologi, geografi, demografi, psikologi).
4.
HISTORIOGRAFI
MODERN
Historiografi modern muncul akibat tuntutan
ketepatan teknik dalam mendapatkan fakta sejarah. Fakta sejarah didapatkan
melalui penetapan metode penelitian, memakai ilmu-ilmu bantu, adanya teknik
pengarsipan dan rekonstruksi melalui sejarah lisan. Suatu periode baru dalam
perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya studi sejarah
kritis. Dalam penulisan tentang sejarah kritis dipergunakan prinsip-prinsip
metode sejarah. Studi sejarah kritis juga memerlukan bantuan dari ilmu lain
untuk mempertajam analisanya. Hal ini merupakan implikasi dari mulai sedikitnya
peran analisa tekstual dengan bantuan filologi terhadap studi sejarah
Indonesia modern. Di sini yang harus diperbaiki adalah alat-alat analitis serta
metodologis.
Bertolak
dari hal ini, maka beberapa disiplin dari ilmu-ilmu sosial mulai dicantumkan
dalam studi sejarah. Konsep sejarah nasional sebagai unit makro merupakan
kerangka referensi bagi sejarah lokal/regional yang dapat dipandang sebagai
unit mikro. Sejarah nasional sebagai macro-history mencakup interaksi antar
micro-unit, antara lain melalui pelayaran, perdagangan, perang, penyiaran agama
atau menuntut pelajaran, hubungan antara lembaga-lembaga nasional, seperti
partai-partai politik. Sejarah nasional bukan jumlah dari sejarah lokal, tetapi
proses-proses atau kejadian-kejadian pada tingkat sejarah lokal diterangkan
dalam hubungannya dengan proses nasional.
Historiografi
modern, merupakan suatu periode perkembangan baru dalam historiografi
Indonesia atau nasional. Diawali dengan munculnya karya Husein Djajadiningrat,
Critische Beschouwingen van de Sejarah Banten, kemudian
karya-karya sejarah sejarah selanjutnya banyak dipengaruhi oleh karya ini,
yaitu dengan dipergunakannya aspek pendekatan ilmu lain untuk melengkapi
atau menulis suatu karya sejarah. Di jaman Jepang,
Sanusi Pane dan Douwes Dekker sudah memelopori menulis Sejarah Indonesia dengan
semangat nasionalisme. Karya mereka walaupun dari sudut ilmiah tidak mendapat
penilaian yang tinggi, namun telah banyak membantu guru yang mengajar sejarah
Indonesia pada zaman Jepang dan jaman berikutnya.
Sejumlah
tulisan sebagai suatu kategori pemikiran teoritis dan metodologis untuk
menangani masalah-masalah penulisan sejarah nasional Indonesia, secara
komprehensif dipublikasikan antara lain karya Mohamad Ali dengan Judul
Pengantar Ilmu Sedjarah Indonesia dan Sartono Karotdirdjo yang menerapkan
metode yang sophisticated dengan pendekatan neo sosial ilmiah dengan
menggunakan konsep-konsep yang dipinjam dari ilmu-ilmu sosial. Pendekatan yang
digunakan bersifat multidimensional. Dibedakan pula antara sejarah naratif dan
non naratif.
Sejarah
naratif, sebagai hasil dari historiografi konvensional, menyusun cerita untuk
membuat deskripsi tentang masa lampau dengan merekontruksi “apa yang terjadi”
melalui seleksi “kejadian-kejadian” penting yang diatur menurut poros waktu
dalam urutan kronologis. Sedangkan sejarah non-naratif tidak menyusun certera
yang merangkaikan deretan peristiwa menurut poros waktu, tetapi berpusat pada
masalah (problem oriented).
Karakteristik
historiografi modern adalah sebagai berikut :
1) Bersifat Indonesia sentrisme, penulisan sejarah di Indonesia diinterpretasikan sebagai sejarah nasional dan ditulis dari sudut kepentingan rakyat Indonesia. Tugas dari historiografi nasional adalah “membongkar dan merevisi” historiografi kolonial yang gaya penulisannya diselewengkan oleh para sejarawan kolonial yang sangat merugikan proses pembangunan, khususnya pembangunan sikap mental bangsa (terutama generasi muda) Indonesia dewasa ini.
2) Bersifat metodologis, artinya penulisan sejarah Indonesia menggunakan pendekatan ilmiah berdasarkan teknik penulisan ilmiah untuk ilmu sosial.
3) Bersifat kritis historis, yang berarti substansi penulisan sejarah Indonesia secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
1) Bersifat Indonesia sentrisme, penulisan sejarah di Indonesia diinterpretasikan sebagai sejarah nasional dan ditulis dari sudut kepentingan rakyat Indonesia. Tugas dari historiografi nasional adalah “membongkar dan merevisi” historiografi kolonial yang gaya penulisannya diselewengkan oleh para sejarawan kolonial yang sangat merugikan proses pembangunan, khususnya pembangunan sikap mental bangsa (terutama generasi muda) Indonesia dewasa ini.
2) Bersifat metodologis, artinya penulisan sejarah Indonesia menggunakan pendekatan ilmiah berdasarkan teknik penulisan ilmiah untuk ilmu sosial.
3) Bersifat kritis historis, yang berarti substansi penulisan sejarah Indonesia secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Historiografi modern adalah penulisan sejarah Indonesia yang bersifat
kritis atau memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Banyak tulisan yang salah
interpretasi dengan mendefinisikan historiografi modern sebagai penulisan
sejarah Indonesia setelah Indonesia merdeka. Padahal, sebelum Indonesia
merdekapun, kita memiliki karya sejarah yang sengat tepat yaitu historiografi
modern. Contohnya Cristiche Beschouwing van de Sadjarah Banten (Tinjauan
Kritis tentang Sejarah Benten) yang merupakan karya dari Dr. Hoesein
Djajadiningrat (1886-1960).
Karakteristik utama Historiografi Modern ada 3 :
Pertama, upaya menuntut
ketepatan metodologi dalam usaha untuk mendapatkan fakta sejarah
secermat mungkin, mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin, serta menerangkannya
setepat mungkin sesuai kaidah-kaidah ilmiah.
· Kedua, historiografi
modern mengkritik historiografi nasional yang dianggap bertendensi
“menghilangkan” peran unsur asing dalam proses membentuk keindonesiaan
(dekolonialisasi sejarah).
· Ketiga, historiografi
modern juga memunculkan suatu terobosan baru, yaitu munculnya peranan-peranan
rakyat kecil sebagai pelaku sejarah
Contoh Historiografi Modern :
Indonesia Historiography, 2001
Modern
Indonesia, Tradition and Transformation, 1984
Ratu Adil, 1984
Protest Movement in Rural Java, Oxford University, 1973
The Peasant Revolt of Banten in 1888, 1966
Tidak ada komentar:
Posting Komentar